Cherreads

Chapter 6 - Bab 6-perpisahan

Keesokan Harinya

Matahari pagi menyinari desa kecil itu dengan lembut. Setelah membantu tetangga menyusun kayu bakar dan membersihkan halaman, Reno berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju tempat biasa ia dan teman-temannya berkumpul. Ia mengira mereka mungkin sedang berlatih atau bermain di lapangan.

Namun, setelah mencari ke sana ke mari, ia tak menemukan satu pun dari mereka.

Hingga akhirnya, di bawah pohon besar tempat mereka biasa berkumpul, Reno melihat Leo, Kain, Mira, dan Lian duduk diam. Tak seperti biasanya yang penuh canda dan tawa, kali ini suasana terasa muram. Wajah-wajah mereka penuh kegelisahan.

Reno mendekat dan menyapa, "Hei, apa kabar kalian? Kenapa terlihat murung begitu?"

Ia ikut duduk bersama mereka, menunggu jawaban. Sesaat, tak ada yang berbicara, hingga akhirnya Mira membuka suara.

"Hey Reno... apa kamu nggak merasa... agak nggak enak pada Master Arkas? Dia kan sudah mengajari kita selama ini..."

Leo cepat-cepat memotong, nada suaranya sedikit ketus. "Reno mana mungkin merasakannya. Dia kan nggak ikut..."

"Iya," Kain menimpali singkat.

Reno terdiam sejenak. Ia menarik napas pelan, lalu menjawab dengan suara tenang, "Entahlah... Tapi menurutku, Master itu bukan tipe orang yang akan terluka karena hal seperti ini. Dia bukan berarti nggak peduli, justru dia menghargai pilihan kalian."

Ia menatap ke depan, matanya menatap dedaunan yang bergoyang pelan di tiupan angin.

"Yang menuntun jalan kita itu bukan Master. Dia hanya mengajarkan apa yang kita butuhkan. Ibaratnya seperti jalan yang punya banyak arah. Kadang kita bingung harus ke mana, padahal langkah itu kita sendiri yang pilih. Master hanya menunjukkan... apa yang mungkin terjadi jika kita ambil arah berbeda. Lagian, kenapa kalian nggak tanya langsung aja ke Master?"

Lian menghembuskan napas berat, lengan bersedekap. "Huhh... kamu ngomongnya kayak orang tuaku aja. Padahal kamu juga nggak ngerasain sendiri..."

"Yah, wajar kalau mereka bicara begitu," balas Reno, tersenyum tipis. "Mereka lebih dewasa, lebih banyak pengalaman... jadi sah-sah aja kalau nasihatnya terdengar seperti itu."

Kain menyeringai kecil. "Kalau begitu, kenapa kau bertingkah seperti orang dewasa juga? Padahal kau sepantaran dengan kami."

Reno berdiri perlahan, lalu menatap langit biru di antara dahan pohon. Cahaya mentari menyentuh wajahnya.

"Entahlah... mungkin aku terlalu banyak belajar makna-makna yang tersembunyi," katanya lirih. "Tapi menurutku, kalau kalian benar-benar bingung... tanya sendiri ke Master. Itu lebih baik."

Semua terdiam. Masing-masing merenung dalam diam.

Leo akhirnya bangkit dan mengusap lututnya. "Ayo kita tanya. Aku juga merasa nggak enak..."

Yang lain mengikuti. Reno berjalan paling belakang saat mereka menuju rumah Arkas. Sesampainya di sana, mereka menemukan sang Master sedang duduk santai di kursi kayunya, menyeruput teh hangat sambil memandangi halaman.

Arkas melirik ke arah mereka. Pandangannya langsung tertuju ke Reno yang berdiri agak jauh di belakang.

"Apa yang terjadi?" tanyanya, santai namun penuh perhatian.

Reno mengangkat bahu, pura-pura tak tahu. "Entahlah..."

Ada jeda.

Lalu Leo melangkah maju dan berkata dengan suara pelan, "Hey, Master... apa tidak apa-apa kalau kami pergi begitu saja?"

Arkas menaikkan alis. "Hah?"

Lian menyambung, "Kami cuma... ingin tahu... apakah tidak apa-apa kami pergi meninggalkan Master yang sudah mengajari kami sejauh ini?"

Arkas menghela napas panjang. "Haaahh... tumben sekali kau, Leo, memanggilku seperti itu. Tapi bicara tentang ini..."

Ia menatap mereka satu per satu.

"Itu pilihan kalian, bukan? Aku tidak apa-apa. Aku hanya pria tua biasa. Apa yang perlu dikhawatirkan dari orang yang sudah bau tanah ini?"

"Tapi Master..." Mira mulai bicara, namun langsung disela.

"Sudah, tak perlu mengada-ada," ujar Arkas dengan suara tegas tapi hangat. "Yang aku inginkan adalah... ketika kalian sudah mencapai sesuatu yang besar, jangan pernah melupakan siapa pun yang pernah membimbingmu. Aku akan lebih sakit hati jika kalian lupa pada jasaku. Terutama Leo dan Kain."

Ia lalu melirik pada Reno.

"Untuk Reno... yah, tak usahlah. Dia akan tetap di sini bersamaku."

Semua terdiam, mendengarkan dengan seksama.

"Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Memang, keberuntungan bisa datang pada mereka yang tak menyerah, tapi bisa sangat lambat bagi yang menyia-nyiakannya. Jadi, lakukanlah selagi masih ada kesempatan. Dunia luar jauh lebih besar daripada yang bisa kalian bayangkan. Pengetahuan di sini terlalu kecil untuk menampung potensi kalian."

Ia lalu tersenyum, menegakkan tubuhnya meski tulang-tulangnya terdengar sedikit berderak.

"Jadi... kejar mimpi kalian. Berlatihlah hingga menembus batas. Dan kelak, banggalah kalian bisa berkata: 'Aku adalah murid dari Arkas.'"

Mereka semua menjawab serempak, semangat mulai kembali bersinar di mata mereka.

"Baik, Master!"

Malam Hari

Udara malam mulai dingin. Di dalam rumah, semua telah bersiap tidur. Namun Reno melihat Leo dan Kain masih termenung, menatap atap rumah dengan kosong.

Reno menghela napas dan berkata sambil membaringkan tubuhnya, "Haaahh... kalau kalian masih begini terus, lebih baik kita latihan habis-habisan bareng Master sampai waktu keberangkatan tiba."

Leo dan Kain menoleh sebentar, saling bertatapan, lalu akhirnya tersenyum tipis dan memejamkan mata.

Mereka tahu, malam-malam seperti ini tak akan berlangsung selamanya.

Dan mereka ingin memastikan... bahwa sebelum waktunya berpisah tiba, mereka sudah memberi yang terbaik.

Beberapa Bulan Kemudian

Waktu berlalu lebih cepat dari yang mereka sadari.

Setiap hari diisi dengan latihan keras, tawa, luka-luka kecil, dan banyak pelajaran dari Master Arkas. Mereka tidak hanya mengasah teknik, tapi juga memperkuat semangat, disiplin, dan ikatan satu sama lain. Reno, Leo, Kain, Mira, dan Lian benar-benar melewati masa-masa yang membekas.

Di bawah sinar matahari maupun di bawah cahaya bulan, suara benturan kayu, teriakan semangat, dan napas terengah-engah menjadi irama harian. Reno yang awalnya masih ragu, kini mulai terlihat berdiri sejajar bersama yang lain. Gerakannya makin tajam, tatapannya makin fokus.

Kadang-kadang mereka tertawa terbahak-bahak saat latihan gagal, kadang menangis diam-diam saat tubuh tak lagi sanggup. Tapi mereka selalu bangkit. Karena mereka tahu, waktu mereka bersama Arkas tidak akan lama lagi.

Dan pada akhirnya... hari itu pun tiba.

Hari Keberangkatan

Kereta kuda besar berwarna gelap dengan lambang Akademi telah menanti di ujung jalan desa, disambut oleh debu jalanan dan tatapan orang-orang desa yang ikut mengantar dengan haru.

Arkas berdiri di depan rumah, mengenakan pakaian terbaiknya-masih sederhana, tapi rapi dan bersih. Di belakangnya, kelima muridnya telah membawa tas dan perlengkapan mereka masing-masing. Semua siap berangkat menuju masa depan.

"Yah... akhirnya kalian tumbuh juga," gumam Arkas, tangannya bersedekap sambil menatap mereka.

Leo, yang biasanya banyak bicara, hanya menggaruk tengkuknya. "Terlalu cepat, ya..."

"Kalau terlalu lama, nanti kalian malah jadi bosan denganku," sahut Arkas, menyeringai.

Mereka semua tertawa, meski di balik tawa itu terselip haru.

Setelah salam perpisahan dari para warga desa, mereka naik ke atas kereta, dan Arkas ikut naik-setidaknya untuk mengantar sampai ke gerbang akademi. Reno duduk di sisi jendela, menatap jalanan yang mereka lewati. Tangannya menggenggam erat lencana kecil pemberian Arkas, benda sederhana yang diberikan malam sebelumnya.

Gerbang Akademi

Kereta akhirnya berhenti di depan gerbang besar Akademi Altheria. Gerbang itu menjulang tinggi, dihiasi ukiran emas dan lambang megah yang mencerminkan kekuasaan dan prestise. Di sekitarnya, ramai oleh para calon murid dan keluarga mereka-sebagian dari kalangan bangsawan, berpakaian mewah dan ditemani pengawal; sebagian lain dari rakyat biasa, tampak canggung namun penuh semangat.

Reno turun dari kereta dengan kepala sedikit tertunduk, mengenakan jubah sederhana pemberian Arkas. Ia menatap sekitar dengan hati-hati, tak ingin menarik perhatian.

Namun tiba-tiba... tatapannya membeku.

Di antara kerumunan, berdiri seorang gadis muda berambut hitam pendek dengan garis-garis merah yang halus di bagian samping. Sosok itu sangat familiar. Wajahnya tidak banyak berubah-masih memiliki sorot tajam tapi lembut, penuh semangat seperti yang Reno ingat dari masa kecilnya.

"Neyra Valestine..."

Nama itu langsung terlintas dalam pikirannya.

Teman masa kecilnya. Putri dari keluarga Valestine-salah satu keluarga bangsawan kuat yang dulunya pernah menjadi sekutu kerajaan tempat Reno berasal.

Panik langsung merayapi dadanya. Jika dia mengenaliku... pikir Reno. Akan terlalu berbahaya.

Reno segera memalingkan muka dan menunduk, perlahan mundur ke balik kerumunan. Ia bergerak cepat dan senyap, layaknya bayangan. Neyra yang sedang berbincang dengan pengawalnya tiba-tiba menghentikan langkah, alisnya berkerut.

"...Reno?"

Ia melirik sekeliling, matanya mencari-cari. Tapi Reno sudah menghilang.

Tanpa suara, Reno kini berdiri di atas tembok tinggi di sisi gerbang Akademi. Angin berhembus pelan, mengibaskan sedikit ujung jubahnya. Tatapannya tajam, mengamati dari ketinggian sambil memastikan tak seorang pun melihatnya. Dia memilih menjadi bayangan. Dia harus menjaga jarak.

Dari bawah, Arkas hanya melirik sekilas ke arah tembok, lalu ke arah Neyra yang tampak gelisah. Namun sang pria tua tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mendesah pelan dan menatap murid-muridnya yang bersiap masuk ke akademi.

"Baiklah," ucapnya. "Sampai di sini tugasku. Jangan terlalu menyusahkan pengajar di dalam sana, ya."

Mira, Lian, Leo, dan Kain langsung mengangguk. Namun Leo menoleh ke sekeliling dan bertanya, "Eh? Reno mana?"

Lian ikut melirik. "Tadi masih di belakang kita..."

Arkas hanya tersenyum samar. "Dia sudah masuk lebih dulu. Kalian menyusul saja."

Mereka mengangguk dan mulai melangkah masuk.

Namun Neyra yang sejak tadi memperhatikan-berjalan mendekat. "Tunggu! Tadi kau bilang Reno?"

Arkas menatapnya dengan tenang. "Ya. Kenapa?"

Neyra melangkah cepat, berdiri di hadapan pria tua itu. "Apa kau mengenal seorang anak laki-laki bernama Reno? Rambut hitam, mata hitam, kira-kira setinggi ini..." Ia menunjukkan tinggi dengan tangannya.

Arkas mengangguk ringan. "Ada. Seorang anak desa yang ikut denganku."

"...Desa?" Neyra tampak ragu. "Apa dia... seorang bangsawan?"

Arkas tertawa kecil, lalu menggeleng pelan. "Bangsawan? Tidak sepertinya. Anak itu lahir dan besar di desa kecil ini. Pintar, sopan, dan pekerja keras... Tapi dia bukan siapa-siapa."

Raut wajah Neyra perlahan berubah. Seperti tak percaya, tapi juga tak punya alasan untuk menyangkal.

"Aku... mungkin salah orang," gumamnya lirih.

"Bisa jadi," balas Arkas sambil menepuk pundaknya ringan. "Selamat datang di Akademi Altheria, Nona Valestine."

Setelah itu Arkas berbalik, berjalan pergi. Neyra tetap berdiri di tempatnya, memandangi punggung pria tua itu, sebelum akhirnya kembali pada rombongannya dan melangkah masuk gerbang.

Malam Hari - Rumah Arkas

Langit malam bersih, dihiasi bintang-bintang yang bertaburan. Angin malam berembus lembut melewati halaman rumah sederhana yang kini terasa sunyi. Di teras, Arkas duduk sendiri, mengenakan jubah santainya, menatap langit sambil menyeruput teh hangat.

Langkah pelan terdengar mendekat.

"Master..." suara Reno terdengar ragu.

Arkas melirik tanpa menoleh. "Hm."

Reno berdiri beberapa langkah dari teras, seolah belum yakin untuk maju. Tapi akhirnya ia mengambil langkah, duduk perlahan di sisi pria tua itu.

"Aku... ingin bicara."

Arkas hanya menunggu, tanpa menyela.

Namun sebelum Reno membuka mulut, Arkas berkata lebih dulu. "Aku sudah tahu, Reno."

Reno terdiam, menoleh perlahan ke arah gurunya.

"Aku tahu siapa kau sebenarnya sejak lama," lanjut Arkas dengan tenang. "Mungkin bukan secara detail, tapi cukup untuk mengerti... bahwa kau bukan anak biasa dari desa."

Reno menggigit bibirnya. "Kenapa... tak pernah kau tanyakan?"

Arkas menatapnya, sorot matanya dalam dan lembut. "Karena aku tahu. Kau tak akan nyaman jika aku paksa bicara tentang itu sebelum waktunya. Kau butuh tempat untuk merasa aman dulu, bukan penghakiman."

Hening sesaat.

"...Kau akan meninggalkanku?" tanya Arkas, nada suaranya rendah.

Reno menggeleng cepat. "Tidak. Aku takkan pergi, Master. Aku hanya... belum siap mengatakan semua."

Arkas tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangan kembali ke langit.

"Aku pun... menyimpan sesuatu darimu." Ia terdiam sejenak. "Kau tahu... dulu aku bukan siapa-siapa juga. Tapi dunia luar... pernah mengenalku sebagai 'Dorn si Taring Iblis'."

Reno menoleh tajam, matanya membelalak. "Dorn...? Legenda itu...?"

Arkas-Dorn-mengangguk. "Ya. Itu nama lamaku. Aku dulunya prajurit dalam bayangan, melindungi garis depan dengan cara yang tidak diketahui banyak orang. Hingga akhirnya aku menghilang... memilih pensiun dalam diam."

"Kenapa?"

"Karena aku muak dengan perang yang tak berkesudahan. Dan aku ingin... jika suatu hari aku membimbing seseorang, aku akan melakukannya bukan dengan darah, tapi dengan arah."

Reno menunduk, perlahan mulai mengerti. "Terima kasih karena telah mempercayakan segalanya padaku..."

Arkas menatapnya dengan sorot teduh. "Sekarang giliranmu. Apa sebenarnya yang terjadi?"

Reno menarik napas dalam-dalam. Ia lalu bercerita. Tentang kerajaan yang runtuh. Tentang dirinya yang tersisa seorang diri. Tentang bagaimana keluarganya menghilang, dan ia tak tahu mereka hidup atau mati. Tentang harapan yang mulai pudar... namun ia masih bertahan, karena satu hal.

"Aku ingin menemukan mereka... walau itu berarti aku harus berjalan seorang diri sampai ujung dunia."

Arkas mendengarkan dengan khidmat. Lalu ia bertanya satu hal penting.

"Perjalananmu akan panjang, Reno. Dunia di luar sini kejam. Jadi... apakah kau sanggup untuk hidup lebih lama?"

Reno terdiam sebentar, lalu mengangkat wajahnya dan berkata, "Seperti yang kau katakan beberapa bulan lalu... 'kesempatan mungkin tidak datang dua kali, tapi datang pada orang yang belum menyerah.' Maka dari itu, aku mungkin punya kesempatan... jika aku tidak menyerah, meski itu berarti sampai aku mati."

Arkas menatap Reno lama, sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan mengusap lembut kepala anak itu.

"Lakukan sesukamu... tapi jangan sampai mengecewakanku."

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama... Reno merasa hatinya lebih ringan.

More Chapters