Namanya Revan. Ia datang dari Selatan, melewati empat distrik kumuh dan dua hari perjalanan hanya untuk berdiri di depan Gerbang Prisma—pintu masuk resmi KotaGG yang dijaga ketat oleh robot penjaga dan sensor biometrik.
Di tangannya ada sebuah lembar registrasi digital. Fitur wajahnya dipindai, latar belakangnya diselidiki, dan potensinya diuji dalam hitungan detik oleh algoritma milik Perusahaan MetaCore, perusahaan teknologi terbesar di KotaGG dan pemilik sistem rekrutmen resmi.
Namun Revan tahu, ia bukan satu-satunya.
Hari itu, lebih dari 12.000 pelamar berdiri di antrean yang meliuk seperti ular tak sabar. Semuanya punya mimpi yang sama: bekerja di dalam KotaGG. Meninggalkan kehidupan keras di luar, dan mengejar "kehidupan layak" yang dijanjikan.
Revan menatap ke langit KotaGG yang selalu biru, tak seperti langit kelabu distrik luar. "Hanya satu langkah lagi," gumamnya, sambil menekan jemarinya ke panel pemindai.
Panel itu menyala hijau.
Namun suara yang muncul dari pengeras tidak sesuai harapannya.
"Verifikasi tertunda. Harap menunggu evaluasi tambahan."
Matanya membelalak. "Apa maksudnya tertunda?"
Seorang petugas berpakaian seragam putih—bukan manusia, tapi android model A5—mendekatinya.
"Anda termasuk dalam kategori Data Ambigu," katanya datar. "Riwayat pekerjaan Anda mengandung celah, dan ada kemungkinan Anda tergabung dalam komunitas resisten."
Revan menggenggam erat tasnya. "Aku hanya ingin bekerja. Tidak lebih."
"Banyak yang berkata begitu," jawab android itu. "Tapi KotaGG tidak dibangun oleh orang-orang yang 'hanya ingin'. KotaGG dibangun oleh yang terpilih."
Di belakangnya, antrean masih mengular. Di depannya, surga itu berdiri megah, namun terasa sejauh langit.
Revan tak punya pilihan. Ia tak bisa kembali.
Ia akan masuk ke KotaGG.
Entah dengan cara yang diizinkan—atau yang tidak.