Cherreads

Chapter 10 - Titian Kekekalan di Void Sanctum

Langkah kaki Edwin menggema di lorong-lorong sunyi Void Sanctum. Suara jejaknya seolah ditelan oleh kehampaan. Tempat ini bukanlah dunia, bukan pula dimensi yang dikenal oleh para kultivator biasa. Void Sanctum—salah satu dari tujuh Ruang Kekosongan—terletak di antara keberadaan dan ketiadaan, di mana hukum ruang dan waktu ditulis ulang oleh kehendak tertinggi.

Pintu batu yang ia lewati sebelumnya telah hilang. Sekarang, hanya kegelapan abadi yang membentang di segala arah, diterangi oleh cahaya biru samar yang memancar dari tubuhnya sendiri—reaksi dari jiwanya terhadap energi murni yang menyelimuti tempat ini.

Di sinilah arwah para kultivator legenda bersemayam. Mereka yang mencapai puncak kekuatan namun menolak reinkarnasi, memilih kekekalan dalam bentuk kesadaran spiritual. Konon, hanya satu generasi dalam seribu tahun yang diizinkan menginjakkan kaki ke sini. Edwin adalah generasi itu.

Angin tak berwujud menyusup ke setiap pori-pori tubuhnya, mengaduk-aduk ingatannya. Semua peristiwa hidupnya—dari pelatihan di taman belakang istana hingga momen ia meninggalkan segalanya demi kedamaian—melintas dalam benaknya seperti bayangan mimpi.

"Edwin Aurathar."

Suaranya tak terdengar oleh telinga, namun menggema langsung di dalam pikirannya.

Dari kegelapan, muncul sembilan sosok bercahaya. Mereka berdiri membentuk lingkaran sempurna, masing-masing memancarkan aura yang berbeda—api, air, angin, petir, tanah, waktu, bayangan, cahaya, dan kehampaan.

"Kami adalah Para Penjaga Void, sembilan kultivator yang memilih untuk tetap menjaga Arkos dari balik batas eksistensi. Kini, kami memberikanmu pilihan."

Edwin menunduk, sikap hormat yang tulus ia tunjukkan. Sosok-sosok ini bukan hanya legenda. Mereka adalah fondasi dunia. Pencipta teknik, perintis aliran, pendiri sekte kuno yang kini hanya tinggal nama.

"Apa pilihan itu?"

Sosok dengan aura waktu melangkah maju. Arwah ini dulunya dikenal sebagai "Sejarah yang Bernapas", satu-satunya kultivator yang dapat melihat masa lalu dan masa depan Arkos secara bersamaan.

"Dunia sedang berada dalam ambang ketidakseimbangan. Kamu, penerus darah kerajaan Aurathar dan pewaris Jiwa Kekosongan, memiliki kemampuan untuk memilih: menjaga keseimbangan Arkos dan menyatukan kembali faksi-faksi yang retak—atau menghancurkan tatanan yang ada dan membentuk dunia baru berdasarkan kehendakmu."

Edwin menggigit bibirnya. Kata-kata mereka bukan sekadar pilihan. Ini adalah jalan nasib. Apa pun yang ia pilih akan mengguncang setiap benua, sekte, kerajaan, bahkan langit dan bumi Arkos.

"Apa syarat dari setiap pilihan itu?" tanyanya.

"Menjaga keseimbangan berarti kamu harus mengikat perjanjian dengan Elemen Kehidupan, menjadikan dirimu penyeimbang alami antara kekuatan baik dan jahat. Kamu akan menjadi pengembara abadi, tidak boleh berkuasa, tidak boleh mencintai, tidak boleh membenci. Hanya menjadi penjaga."

"Sedangkan... menghancurkan dunia lama dan membentuk yang baru?"

"Kamu harus melepaskan sisi manusiamu. Menjadi wujud energi murni, pembawa kehancuran dan penciptaan. Dunia yang kamu bangun tidak lagi tunduk pada hukum lama, namun pada kehendak dan prinsipmu sendiri. Kamu menjadi... Tuhan Arkos."

Edwin memejamkan mata. Pilihan ini... terlalu besar. Namun entah kenapa, hatinya tenang. Mungkin karena di balik semua itu, dia tahu bahwa takdirnya memang bukan untuk menjadi raja, melainkan... sesuatu yang lebih.

"Berikan aku waktu."

Sosok bayangan mengangguk. "Kamu punya waktu tujuh hari dalam dimensi ini. Di luar, hanya akan berlalu tujuh detik. Gunakan dengan bijak."

Edwin duduk bersila. Dalam kehampaan itu, ia mulai bermeditasi. Satu per satu, para arwah kultivator mendekat, dan menyatu bersamanya dalam semacam penglihatan—membawanya ke peristiwa-peristiwa besar yang membentuk dunia Arkos. Ia melihat pertarungan para Dewa Elemental, kelahiran Kekaisaran Aurathar, penghianatan Sekte Bayangan Malam, kehancuran Sekte Langit Suci, hingga ramalan tua yang menyebutkan:

"Jika anak tak bertakhta menghilang dari istana, maka penyeimbang baru akan lahir, dan dunia pun diputuskan: tenggelam atau terbang tinggi menuju langit ke-9."

Ketika meditasi itu usai, dan tubuhnya telah menyatu dengan ribuan tahun pengetahuan dan kebijaksanaan, Edwin berdiri.

Tatapannya tajam, namun tidak kehilangan kelembutan. Dalam diam, ia tahu keputusannya sudah matang.

More Chapters