Cherreads

Mimpi itu menyusup

ridhoadlanmadjied2
--
chs / week
--
NOT RATINGS
426
Views
Synopsis
Ravio cuma siswa biasa. Terlalu biasa, sampai dunia pun kayaknya gak peduli dia ada. Tapi satu mimpi mengubah segalanya. Tentang sosok gelap, asap ungu, dan rantai cahaya yang menghancurkan segalanya-lalu serpihannya masuk ke dalam dirinya. Sejak hari itu, Ravio berubah. Tubuhnya mulai berbeda. Refleksnya makin tajam. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan mulai tumbuh dalam dirinya. Dan ketika dia menolong seseorang dari copet, dia sadar-mimpi itu tidak selesai saat ia bangun. Sekarang, ada yang mengikutinya. Ada yang mengincarnya. Dan mungkin... sesuatu yang jauh lebih besar sedang bangkit-dari dalam dirinya sendiri.
Table of contents
VIEW MORE

Chapter 1 - Takdir

Ada aturan tidak tertulis di sekolah ini, aturan yang hanya berlaku bagi orang-orang seperti Ravio—jangan berharap banyak, jangan melawan, jangan bermimpi keadaan akan berubah.

Sejak pagi, ia sudah tahu harinya akan hancur. Alarmnya tidak berbunyi, seperti biasa. Ia terbangun karena suara ibunya yang setengah menjerit, menyuruhnya segera berangkat. Seragamnya kusut, rambutnya berantakan, dan satu-satunya roti yang tersisa sudah terlalu keras untuk dimakan. Tapi apa yang bisa dilakukan? Itu bukan hal baru.

Di koridor sekolah, semuanya berjalan seperti biasanya—Aldo dan gengnya sudah menunggu.

"Lihat siapa yang akhirnya bangun! Pasti habis mimpi buruk, ya? Hidup lo kan memang isinya mimpi buruk."

Dorongan di bahunya bukan sekadar iseng, tapi cukup kuat untuk membuat langkahnya goyah. Ravio tahu lebih baik daripada membalas—itu hanya akan membuat mereka semakin bersemangat.

Masuk ke kelas tidak lebih baik. Guru Matematika menyapu pandangan ke seluruh ruangan sebelum akhirnya berhenti tepat padanya.

"Ravio, coba jawab soal di papan."

Terlambat. Sudah dipastikan jawabannya salah sebelum ia berbicara.

Belum cukup, saat jam istirahat tiba, ia mencoba mencari sudut paling aman di kantin. Tapi keamanan bukanlah sesuatu yang bisa ia miliki.

Langkahnya terhenti saat ia melihat makanan yang baru saja dibelinya meluncur ke lantai, karena 'kebetulan' seseorang menabraknya dari belakang.

"Waduh, sori banget, Vi! Gue nggak lihat ada lo di situ."

Tawa muncul di sekelilingnya. Mereka tidak meminta maaf karena merasa bersalah—mereka meminta maaf karena bagian terbaik dari hari mereka adalah membuat hidupnya semakin payah.

Ravio hanya menghela napas. Tidak ada gunanya mengeluh.

Sampah terbang ke arahnya di lapangan, tugas yang ia kerjakan semalaman ternyata tidak dikumpulkan karena si pencuri kertas telah mengambilnya, dan di rumah, satu-satunya pelarian adalah langit-langit kamar yang ia tatap tanpa harapan.

Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang akan berubah.

Karena inilah hidupnya—kesialan yang terus menerus berulang, tanpa jeda, tanpa perbaikan.

...

Pagi yang cerah, namun di hati Ravio, segala sesuatu terasa sama saja—penuh ketegangan yang mengundang rasa malas. Di sekolah, dia selalu jadi orang yang paling tidak menonjol. Tidak pintar, tidak bodoh, hanya ada di sana, seperti udara yang tidak diperhatikan.

Ravio melangkah pelan memasuki gerbang sekolah, dengan ransel yang sedikit lebih besar dari tubuhnya. Di tangannya, sebuah buku catatan yang sudah mulai usang, dengan sampul yang mulai terkelupas, seakan menggambarkan bagaimana hidupnya: tua, usang, tapi tetap bertahan.

Di ruang kelas, teman-temannya sudah ramai, bercanda dan berseru, sementara Ravio, seperti biasa, duduk di pojok belakang, mencoba agar tidak terlihat. Ketika guru masuk, suasana langsung hening. Semua menunduk, berharap tidak dipanggil. Ravio tentu saja, sudah siap dengan statusnya sebagai target empuk jika ada tugas kelompok yang butuh "korban".

"kerjakan tugas bab 4 untuk minggu depan, buat kelompok masing-masing. Maksimal kelompok 6 orang" kata Pak Dedi "dan kamu Ravio. Saya mau kamu satu kelompok dengan Dika." Lanjut Pak Dedi sambil memandang Ravio dengan ekspresi yang tak bisa dipahami.

Ravio hanya mengangguk lemas. "Baik, Pak." Entah mengapa Pak Dedi selalu menyuruh Ravio satu kelompok dengan Dika Setiap kali ada tugas kelompok.

Sambil menghadap ke meja, dia merutuki nasibnya. Sebagian besar waktu di sekolah terasa seperti menonton film horor, di mana dia tahu nasib buruk akan datang, tapi tetap saja tidak bisa melarikan diri.

Dia menunduk, berusaha menghindari pandangan teman-temannya yang sudah mulai menyeringai. Beberapa orang malah sudah saling berbisik.

"Ravio, kamu kerjakan bagian ini...." kata Dika, teman sekelas yang selalu merasa punya kekuatan untuk mengatur semuanya. Dika bahkan tidak menunggu jawaban, langsung memberikan kertas berisi soal rumit yang pastinya akan membuatnya pusing.

Ravio hanya bisa mengangguk lemas. "Iya, Dik. Pasti..." PASTI!

Di dalam hatinya, dia ingin teriak, ingin bilang bahwa dia juga ingin merasakan hidup tanpa beban tugas yang selalu jatuh padanya. Tapi apa daya, kata-kata itu selalu tertahan di tenggorokan, hanya keluar dalam bentuk keluhan yang tak terdengar.

Sementara teman-temannya mulai sibuk berdiskusi dengan semangat, Ravio terdiam, menatap kertas itu dengan wajah penuh keputusasaan. Di luar jendela, langit biru tampak indah, seolah dunia di luar sana lebih menyenangkan daripada dunia kelas ini.

"Kenapa, kenapa gua begini? Dan selalu saja begini?" keluh Ravio dalam hati.

Tapi satu hal yang Ravio tahu pasti: entah seburuk apapun hari ini, besok akan datang lagi, dan dia akan tetap menjalani hari-hari ini dengan cara yang sama. Tanpa perubahan. Tanpa ketenangan. Seperti npc game yang diprogram tetap menyedihkan.

Beberapa jam kemudian bel berbunyi, dan saatnya untuk pelajaran olahraga. Semua siswa bergegas keluar kelas, menuju lapangan, kecuali Ravio. Dia berjalan pelan, menatap tanah, berusaha untuk tidak terlihat. Olahraga adalah waktu terburuk dalam sehari—di mana keterampilannya yang terbatas, ditambah dengan tubuhnya yang cenderung lebih kurus dari rata-rata, menjadikannya bahan ejekan yang sempurna.

Ketika sampai di lapangan, semua teman sekelasnya sudah terbagi menjadi beberapa kelompok, siap untuk bermain sepak bola. Ravio mendekat ke sisi lapangan, memilih tempat yang paling jauh, berharap tidak dipilih untuk bergabung. Tapi, tentu saja, keberuntungan tidak berpihak pada Ravio.

"Ravio! lo tim gue!" teriak Dika, dengan senyum lebar. Tentu saja, Dika selalu menjadi kapten yang penuh percaya diri. Tidak peduli apakah Ravio ingin atau tidak.

Ravio hanya bisa tersenyum kaku. "Oke, Dika." CK!Andai gue berani nolak.

Begitu dia bergabung, Dika langsung memerintah, "Ayo, Ravio, kamu posisi belakang ya. Jangan cuma berdiri doang!"

Ravio hanya mengangguk, berusaha keras untuk tidak terlihat terlalu canggung. Saat pertandingan dimulai, dia berlari dengan langkah kaku, berusaha menutupi kekurangannya. Bola datang menghampirinya. Detik-detik itu seperti keabadian, saat dia tahu bahwa setiap gerakan yang dia lakukan akan menjadi bahan tertawaan jika salah.

Dengan refleks yang setengah hati, Ravio mencoba menendang bola. Alih-alih mengarah ke gawang, bola malah meluncur ke luar lapangan, membuat teman-temannya langsung menahan tawa.

"Ravio, serius dikit woi!" teriak Dika, setengah cemas, setengah kesal. "Apa lo gak bisa kontrol bola? sedikit aja?"

Ravio hanya mengangkat bahu, tersenyum masam. "Maaf, Dika."

Teman-temannya mulai berbisik, suara tawa pelan mulai terdengar. Ravio ingin menghilang saat itu juga. Ingin masuk ke dalam lubang dan hanya keluar saat semuanya sudah selesai. Tapi sayangnya, dia harus tetap berada di sini—di tengah lapangan, di tengah pandangan yang menilai, di tengah dunia yang terus berputar tanpa memberi ruang untuknya.

"Ah, kenapa sih gua gak bisa jadi keren kayak mereka?" keluhnya dalam hati, menatap bola yang bergulir jauh darinya.

Di tengah permainan, Ravio berusaha lebih fokus. Dia tahu Dika dan teman-temannya sudah mulai kesal. Tapi bukannya memperbaiki dirinya, malah… Ravio membuat keadaan semakin buruk.

Saat bola datang lagi, kali ini dia merasa sedikit lebih percaya diri. "Oke, gue bisa," gumamnya, mencoba menenangkan diri. Tapi saat dia hendak menendang bola, kaki Ravio malah tersandung batu kecil yang entah dari mana datangnya. Tanpa bisa mengontrolnya, Ravio terjatuh dengan sempurna—langsung menubruk tubuh Dika yang sedang berlari ke arah yang berlawanan.

"AAARGH!" Dika teriak, kehilangan keseimbangan, dan akhirnya jatuh dengan posisi yang sangat tidak enak. Teman-teman yang lain langsung berhenti dan menatap mereka dengan tatapan tercengang.

Ravio, yang masih terbaring di tanah, hanya bisa memegangi perutnya yang sakit terkena siku Dika. Dia melihat Dika yang memegangi kakinya dengan ekspresi marah yang semakin memerah.

"Duh… gue nggak sengaja, Dika," kata Ravio, sedikit terengah-engah, mencoba untuk meminta maaf. Tapi yang keluar malah lebih terdengar seperti alasan yang klise.

Dika bangkit dengan wajah penuh emosi. "Gue yang nabrak lo? Atau lo yang nabrak gue? Lu tahu nggak sih, gue hampir cedera gara-gara lo? Lo apaan sih, Ravio? Cuma ngerepotin aja!"

Beberapa teman mulai berdiskusi dengan suara keras, setengah berbisik tapi tetap bisa terdengar. "Gimana sih, Ravio? Kayak nggak punya insting bola sama sekali."

"Udah, gue bener-bener nggak ngerti deh kenapa dia selalu dipilih DIka," kata yang lain, hampir tak terdengar.

Di balik itu, senyuman Dika tampak sinis. Ia memang merencanakan ini untuk membuat Ravio sengsara dengan selalu mempermalukannya. Serta untuk mendapatkan alasan agar dirinya bisa menghajar Ravio. "gue juga ga mau ngelakuin ini Rav, tapi wajah lo selalu ngeselin ketika gue liat" gumam Dika.

Ravio hanya bisa menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Setiap kali dia berusaha, justru hasilnya semakin memalukan. Di matanya, lapangan yang luas itu tiba-tiba terasa sempit, penuh dengan pandangan tajam yang menghakimi.

Namun, apa yang bisa dia lakukan? Ini bukan kali pertama dia merasa seperti ini. Jadi, dia memilih untuk diam, berjalan pelan kembali ke pinggir lapangan, menghindari tatapan mereka. "Gue cuma pengen selesai cepat aja," pikirnya, sementara timnya mulai berbicara satu sama lain dengan nada yang semakin pesimis.

Dika, yang sudah kesal setengah mati, berbalik menatapnya. "Lo nggak usah ikutan lagi, deh. Kita lanjut tanpa lo!"

Ravio hanya mengangguk lesu. Tidak ada yang lebih dia inginkan selain menghilang.

Dika puas melihat ekspresi itu.

...

Saat bel pulang berbunyi, Ravio mengumpulkan barang-barangnya dengan hati-hati, siap untuk kembali ke rutinitas yang sepi di rumah. Tapi, saat dia berjalan menuju pintu keluar, suara langkah kaki mendekat dan menghentikannya.

"Eh, Ravio!" suara Dika terdengar ceria, sangat berbeda dengan nada marah yang tadi di lapangan.

Ravio menoleh, sedikit bingung. Dika, yang tadi memarahinya habis-habisan, sekarang malah tersenyum lebar. Di belakangnya, ada beberapa teman lain yang turut serta, seperti Agung dan Santi, yang juga ada di timnya tadi.

"Kita mau jalan-jalan nih, lo ikut, gak?" tanya Dika, dengan ekspresi yang hampir tidak bisa dipercaya. Dia terlihat sangat ramah, bahkan lebih hangat dari biasanya.

Ravio terkejut. "Hah? Jalan-jalan? Sama kalian?" tanya Ravio, tak yakin apakah ini lelucon atau bukan.

"Yoi! Kita semua pada pikir lo pasti butuh refresh," jawab Agung, sambil melirik Santi yang ikut tersenyum. "Lagipula, lo kan udah agak ngerusak pertandingan tadi, jadi kita pikir kenapa nggak ngajak lo bersenang-senang? Kalo lo nggak ikut, kesian deh."

Ravio merasa seperti ada yang aneh. Kenapa tiba-tiba mereka jadi ramah padanya? Apa ini semacam jebakan? Atau mungkin mereka cuma merasa kasihan?

"Yah, nggak masalah deh," jawab Ravio dengan ragu, meski dalam hatinya ada perasaan tidak percaya. "Mau kemana?"

"Ke cafe! Pengen ngabisin waktu sebelum pulang," jawab Dika, mengangkat alis dengan gaya yang sangat percaya diri, seolah ini adalah tawaran yang tidak bisa ditolak.

Ravio menghela napas panjang. Mungkin ini kesempatan untuk merasakan sesuatu yang berbeda, meski masih ada rasa tidak nyaman di hatinya. "Oke deh," katanya pelan, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Perjalanan mereka dimulai dengan tawa dan obrolan ringan. Ravio, yang biasanya merasa terasing, perlahan mulai merasa ada yang berbeda. Meskipun dia merasa canggung, setidaknya tidak ada yang mengejek atau memarahinya. Semua terlihat… normal. Terkadang, itulah yang dia butuhkan—keadaan yang biasa, tanpa harus merasa terpojok.

Namun, seiring berjalannya waktu, Ravio masih merasa aneh dengan perlakuan mereka yang tiba-tiba berubah. Apa yang sebenarnya mereka inginkan?

Langkah mereka semakin jauh dari keramaian sekolah, dan Ravio mulai merasa ada yang tidak beres. Jalanan yang tadinya penuh dengan orang, kini semakin sepi. Dika dan teman-temannya terus berjalan dengan semangat, namun Ravio merasakan ketegangan yang tak terucapkan. Keakraban yang tadinya dia rasa hanya ilusi belaka, semakin membuatnya gelisah.

Mereka berbelok ke gang kecil yang jarang dilalui orang. Begitu mereka masuk lebih jauh, Ravio mulai merasa ada yang salah. Tidak ada tawa lagi, hanya keheningan yang menekan.

"Eh, kenapa kita belok ke sini?" tanya Ravio, menatap Dika yang tampaknya agak berbeda.

Dika hanya tersenyum miring. "Tenang aja, Ravio. Kita cuma mau ngobrol sedikit."

Ravio ingin bertanya lebih banyak, tapi sebelum dia sempat membuka mulut, Agung sudah mendorongnya ke dinding gang dengan keras.

"Lo pikir bisa asal main bola kayak gitu?" suara Dika terdengar dingin, tidak lagi sehangat tadi.

Ravio terkejut. "Apa yang kalian...?"

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Santo sudah menendang kakinya, membuat Ravio terjatuh ke tanah.

"Udah cukup jadi bahan ketawa orang, Gua muak," kata Santo sambil menginjak kaki Ravio. "Lu pikir kita cuma bercanda pas di lapangan tadi?"

Ravio mencoba bangkit, tapi Dika sudah menendang dadanya, membuatnya terhuyung mundur. "Lo bikin malu tim, bikin kita semua malu di depan kelas. Pikir lo bisa lari dari itu semua?"

Ravio merasakan darah mulai mengalir dari bibirnya. Rasa sakit yang luar biasa mulai memenuhi seluruh tubuhnya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan dan kakinya lemas, tidak mampu melawan.

"Ravio," kata Agung, suaranya penuh ejekan. "Lo udah bikin semuanya berantakan, jadi sekarang lo bayar. Lo harus tahu rasanya."

Dika, yang kini berdiri di depan Ravio, menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. "Sori, bro, lo emang gak ada di level kita. Pantas aja jadi bahan ketawa."

Ravio terdiam, tubuhnya semakin lelah, semakin sakit, tapi dia tidak bisa berhenti berpikir. Kenapa? Kenapa mereka melakukannya? Semua yang terjadi selama ini terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak bisa dia hindari.

Ketika mereka selesai melampiaskan amarah mereka, Ravio terbaring di tanah, tubuhnya bonyok, penuh luka memar. Dika menatapnya sekali lagi, seakan memberi isyarat agar dia tidak pernah melupakan hari ini.

"Semoga lo belajar sesuatu," kata Dika, sebelum mereka pergi begitu saja, meninggalkan Ravio yang terkulai di tanah, sendirian, di tempat yang sepi.

Dika dan teman-temannya pergi begitu saja, meninggalkan Ravio yang terkulai di tanah, terluka dan lemah. Hening menyelimuti gang sempit itu, hanya terdengar suara napas Ravio yang berat dan terputus-putus. Setiap kali dia mencoba bergerak, tubuhnya memberi respon dengan rasa sakit yang menusuk. Rasa sakit fisik itu hampir membuatnya lupa pada rasa sakit yang lebih dalam—yang ada di dalam dirinya.

Ravio memejamkan mata sejenak, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk bangkit, namun setiap inci tubuhnya terasa hancur. Tangannya yang penuh luka gemetar saat ia mencoba menahan tubuhnya, yang seakan-akan terlalu berat untuk digerakkan. Lalu, tanpa sadar, air mata mulai mengalir, bercampur dengan darah yang menetes dari wajahnya.

"Kenapa, sih?" bisiknya, suaranya serak. "Kenapa harus gue? Gue nggak pernah minta semua ini."

Di tengah kesendiriannya, pikiran buruk mulai merayap ke dalam benaknya. Dia tidak pernah merasa seburuk ini sebelumnya. Dalam hidupnya, yang paling dia inginkan hanyalah untuk tidak merasa terasing—untuk merasa bahwa ada orang yang peduli. Tapi kini, apa yang dia rasakan? Semua yang ada hanyalah keputusasaan. Semua orang yang pernah dia harapkan untuk ada ternyata pergi, dan kini dia merasa seperti bukan siapa-siapa.

"Untuk apa hidup kalau cuma dihina seperti ini?" pikir Ravio dalam hati, merasakan berat di dadanya. "Untuk apa bertahan kalau cuma jadi bahan tertawaan dan pelecehan?"

Dia terbaring, menatap langit yang perlahan mulai gelap, tidak tahu apakah dia harus bangkit atau menyerah begitu saja. Rasa malu dan sakit yang begitu dalam membuatnya merasa kosong, seperti tidak ada yang tersisa lagi.

Seperti halnya saat di lapangan sepak bola, dia tidak pernah diberi kesempatan untuk bersinar, untuk menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Semua yang ada hanyalah tawa, hinaan, dan rasa tidak penting. Apa gunanya mencoba lagi jika dunia selalu memandang rendah?

"Tidak ada yang peduli," bisiknya, hampir tak terdengar. "Kenapa gue harus peduli pada diri gue sendiri?"

Saat itulah Ravio merasa ada sesuatu yang lebih gelap dari rasa sakit yang menyelimutinya. Sebuah keputusasaan yang mulai menyelubungi pikirannya, menggoda untuk menyerah. Dia merasa dirinya terlalu rapuh, terlalu kecil untuk bertahan. Semua impian, harapan, dan keinginan seakan terkubur dalam sekejap.

Ravio menutup matanya, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. Mungkin dia masih bisa bertahan sedikit lebih lama. Mungkin masih ada alasan untuk bangkit, apapun alasan itu, Ravio hanya ingin menjalankan hidupnya yang menyedihkan.

Setelah beberapa lama terdiam di gang, Ravio akhirnya mengumpulkan sedikit tenaga untuk berdiri. Langkahnya goyah, dan setiap gerakan terasa seperti beban yang tak terhingga. Meskipun tubuhnya terasa hancur, ada satu hal yang masih dia ingat: rumah. Rumah yang jarang memberinya kenyamanan, tetapi setidaknya itu adalah tempat di mana dia bisa sembunyi.

Dengan langkah pelan dan tubuh yang semakin lelah, Ravio berjalan pulang. Di sepanjang jalan, dia tidak memperhatikan apapun. Pikiran dan tubuhnya terfokus pada satu tujuan: rumah. Setiap langkah terasa semakin berat, dan waktu seolah melambat. Dia ingin cepat sampai, masuk ke kamar, dan menghilang dari dunia luar.

Akhirnya, setelah perjalanan yang panjang dan penuh keheningan, Ravio sampai di rumah. Pintu depan terbuka dengan bunyi berderit, dan dia masuk dengan langkah lemah. Seperti biasa, rumah berantakan itu sepi. Tidak ada suara, tidak ada yang menyambut. Hanya keheningan yang menunggu.

Ravio berjalan menuju kamar tidur tanpa berkata apa-apa. Sesampainya di sana, dia menutup pintu dengan pelan dan langsung terjatuh ke tempat tidur. Tidak peduli untuk mengganti pakaian atau membersihkan luka-lukanya. Semua rasanya tidak penting lagi. Yang dia inginkan hanya satu: tidur. Menutup mata dan melupakan segalanya, setidaknya untuk sementara waktu.

Tidur, dalam pikirannya, adalah pelarian terbaik yang bisa dia miliki. Dalam tidur, dia bisa melupakan rasa sakit, kebencian, dan segala keputusasaan yang terus membebani hatinya. Mungkin di dalam mimpinya, dia bisa menemukan kedamaian, meskipun dia tahu itu hanya sementara.

Begitu tubuhnya terbaring di tempat tidur, Ravio menarik selimut dengan gerakan malas, menutupi wajahnya. Dalam keheningan malam, dia hanya mendengar napasnya sendiri yang mulai melambat. Tidak ada yang lebih dia inginkan selain melupakan dunia sejenak.

Namun, sebelum benar-benar terlelap, ada satu pemikiran yang muncul dalam benaknya—sebuah pertanyaan yang tak bisa dia jawab "Apa yang harus gue lakukan sekarang?"