Cherreads

Chapter 4 - BAB 4 : KESALAHAN YANG TAK PERNAH DITEBUS

Jakarta, dini hari.

Lampu-lampu kota menyala pucat di kejauhan, bias cahayanya menerpa kaca jendela apartemen Nayla seperti bayang-bayang masa lalu yang enggan pergi. Di dalam, Nayla duduk bersila di lantai, map berisi dokumen penyamaran Adrian terbuka lebar di depannya. Setiap kata terasa seperti serpihan peluru, menembus benteng kepercayaannya.

Ia kini tahu: Adrian bukan pengkhianat. Ia adalah satu-satunya orang yang mencoba melawan dari dalam.

Namun yang tak bisa ia terima bukanlah peran rahasia Adrian...

Melainkan satu nama yang tertulis di halaman keempat.

"Disarankan untuk tidak menghubungi Ayunda Sari karena kemungkinan keterlibatan tidak langsung."

Nayla mengangkat kepala, memandangi map itu dengan mata bergetar.

Ayunda... orang yang baru saja memberinya dokumen ini, ternyata pernah dicurigai sebagai bagian dari sistem yang hendak dibongkar Adrian.

"Apa maksudnya?" batin Nayla. "Kenapa Adrian tak pernah memberitahuku? Kenapa dia memilih diam, bahkan menjauhiku?"

Ia tahu jawabannya. Karena dalam dunia seperti ini, siapa pun bisa menjadi musuh. Bahkan seseorang yang pernah kau peluk erat dalam keheningan doa.

---

Flashback — Tiga Tahun Lalu

"Adrian, kamu berubah," kata Nayla, malam itu, di tempat parkir gedung Branta Lintas. Hujan baru saja reda. Tapi air di mata Nayla tak bisa ia tahan.

Adrian hanya berdiri diam, wajahnya tertutup bayangan. "Aku cuma sedang belajar melihat siapa yang masih bisa aku percaya."

"Dan aku? Aku siapa buat kamu sekarang?"

Adrian menatapnya, ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan. Tapi ia tetap berkata, "Seseorang yang lebih baik jauh dariku."

Lalu ia pergi. Meninggalkan Nayla sendirian. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan.

---

Kembali ke masa kini

Ponsel Nayla bergetar. Sebuah pesan masuk, dari nomor tak dikenal.

"Kamu menyentuh luka lama. Kematian akan datang lagi jika kamu terus menulis ulang cerita yang seharusnya mati."

Ia menggenggam ponselnya erat. "Beraninya mereka mengancam aku seperti ini..." gumamnya.

Nayla membuka laptop, dan mulai menulis ulang semua yang ia ketahui. Data, dokumen, nama, waktu. Ia menyambungkan peta kasus Nova Satu dengan transaksi terbaru Branta Lintas. Garis merah di layarnya membentuk jaringan—terlalu luas, terlalu dalam.

Dan di tengah semua itu, satu nama bersinar seperti luka:

Rio Santoso.

Laki-laki yang datang padanya membawa setengah kebenaran, namun menyembunyikan setengah lainnya. Mengapa ia baru berbicara sekarang? Apakah ia sedang menyelamatkan dirinya sendiri... atau sedang menjebak Nayla ke dalam perang yang lebih besar?

---

Keesokan paginya — Kantor Branta Lintas

Nayla berjalan cepat ke ruang arsip digital. Ia sudah meminta akses ke data lama dengan alasan audit. Di dalam ruangan gelap itu, hanya lampu dari layar komputer yang menyala. Tangannya bergerak cepat, membuka folder dengan nama kode: N1-AJ12.

Tapi folder itu kosong.

Ia mencium ada yang janggal. File sebesar itu—laporan keuangan, dokumen hukum, video rekaman rapat—mustahil lenyap begitu saja.

Ia keluar dari ruang arsip, namun baru beberapa langkah, sebuah suara dari belakang memanggil:

"Nayla."

Ia berbalik.

Pak Ragil, direktur keuangan, berdiri dengan tangan di saku jasnya.

"Kamu mencari file yang tidak ada," katanya tenang. "Karena itu memang file yang tak boleh ditemukan."

Nayla menahan napas. "Pak, ada orang-orang yang akan mati kalau kita terus diam."

Pak Ragil tersenyum tipis. Tapi sorot matanya dingin.

"Kesalahan paling besar adalah mengira bahwa kejujuran akan menyelamatkan kita."

Lalu ia mendekat, dan berbisik di telinganya:

"Adrian pernah berpikir sama seperti kamu. Sekarang... dia hilang. Kamu ingin jadi yang berikutnya?"

---

Malam hari — Rumah Ayunda

Nayla datang dengan map di tangan. "Kamu tahu soal ini?" tanyanya sambil menunjukkan halaman keempat—yang menyebut nama Ayunda sebagai 'kemungkinan terlibat'.

Ayunda terdiam lama. Lalu ia berkata lirih, "Aku tahu Adrian pernah curiga padaku. Tapi bukan karena aku bersalah... karena aku terlalu dekat dengan kebenaran waktu itu. Dan aku memilih diam. Itu kesalahan yang tak pernah bisa aku tebus."

Nayla menatap perempuan itu. Untuk pertama kalinya, ia melihat ketakutan dalam sorot mata seorang pejuang yang dulu tak pernah mundur.

"Kalau begitu," ucap Nayla pelan, "biar aku yang selesaikan ini."

Ayunda menggenggam tangannya.

"Kalau kamu teruskan ini, Nay... kamu harus siap kehilangan lebih dari sekadar karier. Bahkan mungkin... orang-orang yang kamu cintai."

Nayla menatap balik. Matanya tak bergetar.

"Aku sudah kehilangan cukup banyak."

Tengah malam — Apartemen Nayla

Hujan kembali turun, rinai kecil membasahi jendela apartemen yang telah lama tidak ditutup. Di luar sana, kota masih hidup, tapi di dalam ruangan itu, hanya suara keyboard yang terdengar—cepat, tegas, seperti detak jantung Nayla yang menolak tenang.

Peta digital di layarnya semakin penuh. Nama-nama bermunculan seperti teka-teki yang saling menjebak: Rio Santoso, Ayunda Sari, Pak Ragil, Adrian… dan satu inisial yang muncul dari cache sistem lama: R.S.Δ13.

Nayla menyipitkan mata. Itu bukan nama—itu kode. Dan satu-satunya orang yang pernah menggunakan kode serupa... adalah Adrian.

Ia membuka satu dokumen terenkripsi yang terselip di folder backup sistem lama. File itu tak pernah dilaporkan ke sistem resmi, hanya bisa diakses dengan sandi pribadi.

Sandi yang hanya bisa dibuka oleh satu orang: Nayla.

Ia mengetik perlahan. Kata yang pernah Adrian bisikkan padanya saat mereka masih saling percaya.

> "Petir tak pernah jatuh dua kali di tempat yang sama..."

Ia mengetik: PETIR.02JATUH

Klik.

File terbuka.

---

Dokumen rahasia – Log Adrian (transkrip audio)

> "Tanggal 14 Oktober. Aku berhasil menyusup ke server inti Branta. Tapi ada yang aneh... Direktur keuangan, Ragil, menyimpan dua arsip keuangan berbeda. Satu untuk audit. Satu lagi... untuk transaksi luar negeri yang tidak pernah dilaporkan. Dan nama Ayunda muncul. Bukan sebagai pelaku. Tapi sebagai orang yang tahu dan disuruh tutup mulut. Aku yakin... ada lebih dari satu musuh di dalam sistem kita sendiri. Dan aku tak bisa percaya siapa pun—termasuk Nayla. Aku mencintainya. Tapi justru karena itu, aku tak bisa seret dia ke jurang ini..."

Nayla menutup laptopnya pelan. Kepalanya tertunduk. Bahunya bergetar.

Kini ia tahu kebenaran: Adrian menjauhinya bukan karena ingin meninggalkannya... tapi karena ingin melindunginya.

Namun semuanya sudah terlambat.

---

Dini hari — Jalan kosong di Jakarta Selatan

Sebuah motor matic melaju pelan. Di atasnya, Nayla mengenakan hoodie gelap. Di jok belakang, tas berisi dua hard disk, satu flashdisk, dan map merah yang sebelumnya ada di tangan Ayunda.

Ia mengarah ke satu tempat: rumah wartawan investigasi senior, seorang kenalan lama Adrian—Eka Satria.

Namun beberapa meter sebelum sampai, lampu motor padam. Mesin mati. Ponsel Nayla bergetar.

Pesan masuk lagi.

> "Langkah berikutnya akan membakar semua yang kau miliki. Masih ingin terus?"

Nayla mengangkat kepala. Nafasnya memburu. Tangan kirinya meraba ke jaket dalam—tempat Adrian dulu menyimpan senjata kecil, sekarang tergantikan dengan drive cadangan yang ia sembunyikan di balik lapisan kain.

Ia menulis balasan:

> "Aku sudah terbakar sejak malam Adrian hilang."

Lalu ia turun dari motor, dan berjalan kaki menuju rumah Eka.

---

Di dalam rumah Eka Satria

Eka, lelaki berusia akhir empat puluhan, berambut sedikit memutih, memandangi Nayla yang menyerahkan seluruh dokumen di meja kayu tua yang penuh coretan catatan dan kabel.

"Aku butuh bantuanmu. Bukan cuma untuk menyebarkan ini. Tapi juga untuk membuktikan satu hal..."

Eka menatap Nayla dalam-dalam. "Apa?"

"Bahwa Adrian... tidak mati."

Sunyi sejenak. Lalu suara detik jam di dinding seperti menggema keras.

"Apa kamu yakin?" tanya Eka perlahan.

Nayla mengangguk. "Orang yang menulis dokumen terakhir itu tahu sesuatu yang hanya Adrian tahu. Aku pikir... dia masih hidup. Atau... seseorang membuatnya terlihat mati, agar kita berhenti mencari."

Eka duduk tegak, membuka satu folder digital miliknya.

"Kalau begitu, kita mulai dari awal lagi."

More Chapters