Cherreads

SI AHLI STRATEGI PERANG

Nadine_Bellova
21
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 21 chs / week.
--
NOT RATINGS
1.1k
Views
Synopsis
Di tanah imajiner bernama Zhao Ling, lima kerajaan saling memperebutkan kekuasaan lewat perang, tipu daya, dan seni bela diri. Saat darah para pendekar tumpah demi raja-raja serakah, muncullah seorang anak yatim piatu bernama Tsun Zhu, yang tak bisa bela diri... tapi punya otak jenius luar biasa. Dengan hanya sebuah kipas lipat dan kitab tua berjudul Seni Keheningan, Tsun Zhu mulai menaklukkan dunia bukan dengan pedang, tapi dengan strategi. Ia diremehkan, dijebak, dan dikhianati, tapi satu per satu jenderal dan pendekar takluk oleh rencananya yang nyaris mustahil diprediksi. Namun ketika Tsun Zhu akhirnya duduk sebagai penasihat perang tertinggi, ia menyadari bahwa strategi terbesar bukanlah mengalahkan musuh... tapi menghadapi diri sendiri.
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 1 : ANAK TANPA PEDANG

Di ujung utara Zhao Ling, tersembunyi di balik hutan pinus dan kabut dingin sepanjang tahun, berdiri sebuah desa kecil bernama Muye. Tak banyak orang tahu keberadaannya. Tak ada peta yang mencantumkan namanya. Bahkan pedagang yang melintasi jalur utara lebih sering menyebutnya "desa lupa waktu." Tapi di sanalah segalanya dimulai—bukan dari denting pedang, melainkan dari sunyi yang tak biasa.

Di tengah sunyi itulah seorang anak lelaki hidup. Namanya Tsun Zhu, yatim piatu sejak umur lima tahun. Tak ada yang tahu siapa orang tuanya. Ia ditemukan oleh seorang tua pemabuk di depan kuil tua yang sudah runtuh. Anak itu tak menangis, tak ketakutan—hanya memeluk sebongkah batu berukir huruf-huruf kuno dan menatap langit seolah sedang membaca awan.

Tsun Zhu berbeda dari anak-anak lain. Di usia delapan, saat yang lain bermain tombak dari bambu, ia justru duduk diam membaca kitab yang ditemukan di gudang kepala desa: sebuah manuskrip berjudul "Seni Keheningan"—buku tua yang ditinggalkan oleh biksu pengembara entah dari mana. Kitab itu tidak mengajarkan jurus bela diri. Isinya hanya teka-teki, perumpamaan, dan filosofi tentang peperangan, diam, dan kehendak.

"Kenapa kamu tidak belajar silat seperti kami?" tanya anak-anak lain.

Tsun Zhu hanya tersenyum, lalu menjawab, "Karena memukul musuh adalah mudah. Membuat musuh memukul dirinya sendiri… lebih menarik."

Mereka tertawa, melempar lumpur ke arahnya, dan menyebutnya pengecut. Tapi Tsun Zhu tak pernah marah. Ia hanya menghapus wajahnya dengan lengan bajunya yang compang-camping, lalu kembali membaca.

Tahun demi tahun berlalu. Ketika usianya menginjak dua belas, desa Muye mulai didera ketakutan. Pasukan dari Kerajaan Liang, salah satu dari lima kerajaan besar di Zhao Ling, mendirikan kamp militer di dekat sungai perbatasan. Isu perang merebak. Kerajaan Liang dan Kerajaan Yue mulai memperebutkan wilayah hutan barat yang kaya kayu langka.

Kepala desa mengumpulkan rakyat. "Kita harus memilih. Menyerahkan sebagian hasil panen untuk pasukan Liang, atau lari ke selatan."

Orang-orang panik. Mereka bukan pendekar. Mereka tak tahu ke mana harus pergi. Dan dalam kekacauan itu, suara kecil dari ujung ruangan tiba-tiba terdengar:

"Kalau kita mengirim panen ke Liang, mereka akan anggap kita lemah. Mereka akan menetap selamanya. Tapi kalau kita pura-pura menghilang, menyebar ke desa sekitar dan membuat seolah-olah Muye sudah ditinggalkan… mereka akan berpikir tempat ini tak penting."

Semua menoleh. Tsun Zhu berdiri tenang dengan kipas bambu di tangannya, wajahnya tanpa ekspresi.

"Siapa kamu, anak kecil, berani bicara di antara orang dewasa?" bentak salah satu petani.

Tsun Zhu menjawab, "Bukan soal usia. Tapi soal siapa yang berpikir lebih jauh dari hari ini."

Dan itulah awal dari legenda.

Keesokan harinya, warga mengikuti rencananya. Rumah-rumah ditutup rapat, sumur dikeringkan, dan jalan-jalan dikotori lumpur agar terlihat seperti tak berpenghuni. Dalam dua hari, seluruh Muye seperti ditelan tanah.

Ketika pasukan Liang datang, mereka hanya melihat desa kosong dan memutuskan berpindah ke desa berikutnya yang lebih mudah dijarah.

Muye selamat—tanpa satu tetes darah.

Dan sejak hari itu, Tsun Zhu bukan lagi anak aneh. Ia menjadi pembisik diam-diam bagi para tetua. Ia tak punya pedang. Tak bisa silat. Tapi semua mulai menyadari—ia punya senjata yang lebih tajam: akal.

Namun hidup di Zhao Ling tak pernah diam lama. Pada musim dingin tahun berikutnya, desa Muye terbakar. Api datang dari utara, dibawa oleh prajurit Kerajaan Yue yang membalas dendam karena Liang menyerang lebih dulu. Mereka membakar desa-desa perbatasan tanpa pandang bulu. Tsun Zhu lolos, tapi tidak dengan para sahabatnya.

Ia berjalan berhari-hari ke arah selatan, membawa hanya kipas, kitab "Seni Keheningan", dan luka yang tak bisa disembuhkan.

Di malam ketiga, ketika tidur di bawah pohon cemara, ia bermimpi.

Dalam mimpinya, muncul sosok berjubah abu-abu, bermata kosong dan berambut putih seperti kabut.

"Siapa kau?" tanya Tsun Zhu.

"Aku hanya bayangan dari masa depan. Si Buta dari Lembah Angin. Aku datang untuk memberitahumu satu hal: Peperangan yang kau hadapi bukan hanya di luar... tapi juga di dalam dirimu."

Tsun Zhu ingin bertanya lebih jauh, tapi sosok itu menghilang seperti kabut ditiup angin.

Ketika pagi tiba, Tsun Zhu bangun dengan mata yang lebih tajam dari sebelumnya. Ia menggenggam kipasnya dan berkata lirih, "Jika pedang bisa mengubah dunia… maka kata-kata akan menulis ulang sejarahnya."

Dan dengan langkah kecil tapi pasti, ia menuju ibu kota Liang, tempat para jenderal berkumpul, tempat para pembunuh mengintai, dan tempat pertama di mana rencananya akan dimulai.