Langit pagi bersih dari awan. Kabut tipis masih menggantung di rerumputan saat sinar mentari pertama menyusup ke jendela kayu rumah Arkas. Udara pegunungan membawa hawa dingin yang menusuk kulit, tapi tidak cukup untuk menghalangi semangat para pemuda yang akan melakukan perjalanan ke kota Karden pagi itu.
Reno terbangun lebih cepat dari biasanya. Ia duduk di ranjang kayu dengan selimut melingkar di bahunya, pandangan kosong ke arah lantai. Bayangan mimpinya masih tersisa samar di benaknya, sosok dirinya sendiri yang bertanya dengan suara tenang tapi menggetarkan hati: "Siapa dirimu?"
Ketukan lembut di pintu membuat lamunannya buyar.
"Reno, bangun. Kami sudah siap sarapan," suara Mira terdengar dari luar.
"Iya, aku keluar sebentar lagi," balas Reno pelan.
Ia menepuk pipinya pelan, berdiri, dan mengenakan pakaian perjalanannya-tunik cokelat tua yang ringan namun cukup hangat, celana kulit, dan sepatu tinggi. Rambut hitamnya yang panjang diikat rapi ke belakang seperti biasa, menyisakan poni yang menutupi sedikit dahinya.
Saat keluar, aroma roti hangat dan sup daging menyambutnya dari dapur. Meja makan sudah dipenuhi oleh Leo, Kain, Lian, dan Mira. Arkas sedang berdiri di dekat tungku, menuangkan sup ke dalam mangkuk besar.
"Selamat pagi, pemimpi," sapa Leo sambil mengangkat cangkirnya.
"Semalam mimpi bertemu gadis, ya?" Kain menggoda, menyikut bahu Reno pelan.
Reno mendesah dan duduk di kursi kosong. "Lebih ke mimpi buruk kalau ada kalian di dalamnya."
"Wah, kalau begitu kamu harus bersyukur itu cuma mimpi," balas Mira, tertawa.
"Jangan lupa makan banyak," ujar Arkas sambil menaruh mangkuk di depan mereka. "Perjalanan hari ini jauh. Kalau perut kosong, kalian akan menyesal di tengah jalan."
"Kami tidak akan mengeluh, Pak Tua," kata Lian sambil mengambil sepotong roti.
Leo menambahkan, "Kecuali Kain. Dia akan mengeluh tiap dua jam."
Kain menunjuk ke Leo dengan sendoknya. "Aku tidak mengeluh. Aku cuma... memperingatkan semua kalau aku butuh makanan."
"Terserah sebutannya," gumam Lian sambil menyeruput sup.
Setelah sarapan selesai, mereka bersiap. Tas dibebat di punggung, pedang dan perlengkapan ringan dibawa secukupnya. Arkas memeriksa satu per satu, memastikan semuanya cukup kuat untuk perjalanan dua hari ke selatan.
"Tak ada latihan hari ini?" tanya Mira sambil menggantungkan kantong air di pinggang.
"Latihan kalian adalah menjaga kaki tetap melangkah dan pikiran tetap waspada," jawab Arkas. "Kota Karden besar. Tapi meski tidak ada monster di sana, orang-orangnya bisa lebih berbahaya dari beast."
Reno menatap Arkas, tapi tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu Arkas tidak berbicara sembarangan.
Perjalanan dimulai dengan cuaca cerah dan angin sepoi yang menyenangkan. Jalan tanah yang mereka lalui cukup lebar dan bersih. Pohon-pohon pinus berjajar di sisi kiri dan kanan, memberikan keteduhan sepanjang siang.
"Kalau kita bertemu pedagang di jalan, kita bisa beli camilan, ya?" tanya Leo sambil melompat kecil dari satu batu ke batu lain.
"Kalau kita bertemu pedagang, kita biarkan Kain menawar. Dia bisa buat si pedagang menyerah dalam tiga kalimat," sahut Mira.
"Empat," koreksi Kain bangga. "Aku butuh satu kalimat untuk membuka tawaran."
Lian berdecak. "Asal jangan sampai kita diusir dari Karden karena tingkah kalian."
Perjalanan berjalan mulus. Mereka sempat beristirahat di tepi sungai kecil, mencuci wajah dan mengisi air. Reno duduk di batu besar, memandangi aliran air sambil menunduk. Leo menghampirinya.
"Masih kepikiran mimpimu, ya?"
Reno terkejut, menoleh. "Dari mana kau tahu?"
"Kau diam sejak tadi. Itu artinya kau sedang memikirkan sesuatu yang berat. Biasanya sih tentang masa lalu."
Reno hanya diam. Ia tidak pernah menceritakan siapa dirinya sebenarnya, bahkan pada Leo yang paling dekat dengannya.
"Aku tak akan tanya lebih jauh," lanjut Leo sambil duduk di sampingnya. "Tapi kalau suatu saat kau ingin cerita... aku bisa mendengarkan. Tanpa menyela. Kecuali ceritamu membosankan."
Reno tertawa kecil. "Terima kasih."
Setelah dua hari perjalanan, mereka akhirnya mencapai dataran tinggi yang menghadap ke lembah luas. Dari sana, tampak Kota Karden-terbentang megah, dengan jalan-jalan beraspal, rumah-rumah batu dengan atap merah, dan bendera-bendera yang berkibar di tiang tinggi.
Mira ternganga. "Itu... lebih besar dari yang kubayangkan."
"Bagaimana bisa kalian tahu jalan di tempat sebesar itu?" tanya Kain.
"Arkas pasti punya peta rahasia," ujar Leo.
"Peta rahasia dan ingatan yang masih bekerja," jawab Arkas ringan sambil berjalan menuruni bukit.
Mereka tiba di gerbang kota tanpa hambatan. Dua penjaga memeriksa mereka sebentar, lalu membiarkan mereka masuk.
Suasana kota berbeda dengan desa yang selama ini mereka tinggali. Jalan-jalan ramai, dipenuhi suara kaki kuda, roda gerobak, penjual yang berteriak, dan anak-anak yang bermain. Aromanya pun berbeda-ada bau roti, minyak goreng, logam, dan bunga.
"Wow... ini seperti dunia lain," gumam Reno.
Mereka langsung menuju perpustakaan kota yang terletak di sisi timur. Bangunannya besar dengan tiang-tiang tinggi di depan pintu masuk, seperti kuil kuno.
Penjaga perpustakaan, pria tua kurus dengan jubah biru gelap, mengenali Arkas begitu mereka masuk.
"Masih hidup rupanya, tua bangka."
"Dan kau masih belum pensiun, rupanya," jawab Arkas santai.
Sementara Arkas berbicara dengan penjaga itu, para remaja berjalan menyusuri lorong rak-rak kayu. Reno tertarik pada bagian sejarah. Ia mengambil buku berjudul "Kerajaan yang Hilang", tapi tidak sempat membacanya karena suara tawa Leo dan Kain menggema dari rak sebelah.
"Reno, kau harus lihat ini!" bisik Kain.
Reno mendekat dan melihat buku dengan sampul mencolok-terlalu mencolok.
"Bukan itu yang kau cari," gumam Reno buru-buru, mengembalikan buku itu ke tempatnya.
"Tapi kau sempat ambil satu tadi, ya?" tanya Leo dengan senyum lebar.
"Ssst! Diam," bisik Reno, mukanya memerah.
Lian dan Mira muncul di belakang mereka.
"Apa yang kalian sembunyikan?" tanya Mira curiga.
"Tidak ada!" seru mereka serempak.
Setelah satu jam di perpustakaan, mereka menuju toko persenjataan yang terletak di distrik tengah. Toko itu dijaga oleh seorang wanita tinggi besar bernama Sera yang langsung mengangkat alis saat melihat Arkas.
"Arkas. Kau belum mati?"
"Belum, karena belum sempat beli pedang bagus dari tempatmu."
Leo langsung berkata, "Kalau semua temanmu begini, Pak Tua, tak heran kau lebih sering di luar rumah."
Sera tertawa keras. "Anak ini menyenangkan. Kain, cepat ambil sesuatu buat dia pukul!"
Kain justru tertawa. "Kupilih tameng dulu, biar bisa bertahan dari omelan Lian."
Reno melihat satu pedang yang menarik perhatiannya. Ringan, dengan gagang hitam dan pola sederhana. Ia mengayunkannya pelan dan terasa pas di tangannya.
Arkas mengangguk. "Itu pilihan bagus."
Mira memilih belati, dan Lian memeriksa perisai kecil yang bisa dilipat.
Setelah membayar dan berbasa-basi, mereka keluar dari toko menjelang sore. Langit sudah mulai jingga. Mereka berjalan ke penginapan kecil di dekat alun-alun, di mana kamar sudah dipesan oleh Arkas.
Di ruang makan penginapan, mereka duduk mengelilingi meja bundar, menikmati makanan hangat.
"Pertama kalinya makan tanpa harus masak sendiri," gumam Mira puas.
"Kalau begini terus, aku bisa tinggal di sini," kata Leo sambil bersandar.
"Tidak, kau bisa tinggal di dapur," ujar Lian datar.
Semua tertawa.
Dan malam itu, di tengah kota yang asing namun ramah, Reno menatap ke luar jendela penginapan, melihat bintang-bintang di atas. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi besok atau hari-hari berikutnya. Tapi satu hal pasti: ia tidak akan menjalani semuanya sendirian.