"Saat Takdir Menyelipkan Luka"
(POV Naya)
Aku masih ingat hari itu,
hari di mana semua doa-doaku menggantung setengah jalan,
karena Tuhan menjawabnya dengan cara yang tidak pernah kumengerti.
Sore itu, Ayah memanggilku ke ruang tamu.
Di sana, duduk seorang lelaki yang belum pernah kulihat sebelumnya — Fathan —
dengan sorot mata tenang dan senyum yang begitu santun.
"Anakku, Naya...," suara Ayah berat, tapi hangat.
"Kami sudah bermusyawarah. InsyaAllah, Fathan adalah lelaki pilihan yang terbaik untukmu."
Aku hanya diam.
Di dadaku, suara gemuruh lain berteriak-teriak —
sebuah nama yang selama ini kutanam dalam diam: Arka.
Aku pernah bermimpi tentang hari itu,
tapi dalam mimpiku, yang duduk di hadapanku bukanlah lelaki ini,
melainkan seseorang yang sudah lama kusembunyikan dalam lapisan-lapisan takdir yang rapuh.
Aku menunduk.
Jilbabku terasa lebih berat dari biasanya.
Suaraku tercekat di tenggorokan.
"Bagaimana, Naya?" tanya Ibu pelan.
Seolah memberi ruang untuk menolak, namun aku tahu, dalam dunia kami,
sebuah penolakan berarti menantang jalan yang telah disusun keluarga dengan segala doa.
Hatiku, pada saat itu,
masih setengah di dunia Arka,
setengah lagi terombang-ambing dalam ketidakberdayaan.
Aku mengangguk.
Bukan karena aku sudah ikhlas,
tapi karena aku percaya, cinta itu bisa tumbuh —
dan mungkin, cinta yang kurajut dengan kesetiaan lebih diberkahi daripada cinta yang kularikan dari ketentuan-Nya.
Dalam hati kecilku, aku berbisik:
"Arka... maafkan aku.
Aku harus memilih Tuhan lebih dulu daripada hatiku sendiri."
Hari itu, aku menyerahkan diri pada takdir,
bukan karena aku lemah,
tetapi karena aku memilih menjadi kuat di jalan yang telah dituliskan untukku,
meskipun harus mengorbankan sebagian dari mimpi-mimpiku yang dulu kusulam diam-diam dalam doa-doa panjang.
Dan Fathan...
ia mungkin bukan cinta pertama yang kupeluk dalam khayal,
tapi ia adalah cinta nyata yang kupeluk dalam doa,
karena aku tahu,
di dunia ini, cinta terbaik bukan yang membuat kita berdebar,
tapi yang membuat kita semakin dekat dengan surga.