Cherreads

Chapter 6 - Gunung Angket dan Bayangan Masa Lalu

Langit utara Arkos tampak lebih kelabu dari biasanya. Awan tebal menggantung di atas puncak Gunung Angket, membentuk bayangan raksasa yang menelan lembah-lembah sekitarnya. Di sinilah Edwin, Pangeran Kedua Kekaisaran Aurathar, memulai pengasingannya. Sebuah pondok sederhana berdiri kokoh di atas sebuah batu raksasa, dikelilingi oleh pagar kayu dari pohon Auravel yang hanya tumbuh di gunung ini—kayu yang dikenal tidak bisa dibakar dan tahan terhadap sihir.

Edwin berdiri di tepi tebing, memandangi lembah di bawah yang diselimuti kabut ungu. Di balik kabut itu terdapat Danau Duskara, yang diyakini oleh para kultivator sebagai tempat berkumpulnya arwah-arwah leluhur yang gagal mencapai pencerahan. Namun bagi Edwin, tempat ini bukan hanya tempat bertapa, melainkan juga tempat menghadapi bayangan masa lalu.

Sudah sebulan sejak kepergiannya dari ibukota, dan dalam waktu itu dia menghabiskan hari-harinya memperkuat formasi perlindungan di sekitar pondok dan melatih teknik-teknik kuno yang diwariskan dari ibunya, Ratu Kasia—teknik yang hanya diketahui oleh garis darah utama kerajaan: Auram Tertius.

Namun hari ini berbeda. Angin berdesir dengan energi tak dikenal. Daun-daun berputar membentuk pola aneh di udara. Edwin tahu, seseorang—or sesuatu—datang mencarinya.

Dengan tenang ia menuruni jalan setapak menuju altar tua di lembah bawah. Di tengah perjalanan, suara langkah kaki menggema—terlalu ringan untuk manusia, terlalu teratur untuk binatang.

"Muncullah," ujar Edwin sambil berhenti di tengah jalan. Matanya tajam menatap bayangan di antara pepohonan.

Dari balik kabut, muncul sesosok makhluk. Setengah manusia, setengah binatang. Tubuhnya ramping namun kokoh, ditutupi bulu berwarna perak dengan pola seperti bintang-bintang. Matanya bersinar biru dan tanduk kristal menghiasi kepalanya.

 

"Roh Penjaga Angket..." bisik Edwin. "Kau makhluk spiritual yang ditinggalkan oleh Raja Pertama Aurathar, bukan?"

Makhluk itu tak menjawab dengan kata-kata, tetapi mengirimkan gelombang energi ke dalam pikiran Edwin—sebuah tantangan, ujian warisan.

Tiba-tiba, medan di sekitarnya berubah. Edwin berdiri di sebuah ruang ilusi yang dipenuhi patung-patung raksasa—seluruh leluhur Kaisar Aurathar, dari yang pertama hingga yang ke-12. Di tengah-tengahnya berdiri sosok seperti dirinya—tetapi dengan mata merah menyala dan aura yang begitu menakutkan.

Sebuah suara menggema dari dalam ruang itu.

"Edwin, kau adalah satu-satunya yang mewarisi Jiwan Aurathar Sejati, bukan Arga, bukan Teresa. Namun kau lari dari takdirmu. Apakah kau pikir pengasingan dapat menyembunyikan takdirmu selamanya?"

Edwin mengepalkan tinjunya. "Aku tak ingin kekuasaan. Aku hanya ingin melindungi mereka yang kucintai."

"Kalau begitu, buktikan. Jika kau mampu bertahan dari ujianku, maka kau berhak atas teknik Sembilan Langkah Kosmik."

Pertarungan pun dimulai. Edwin harus menghadapi versi dirinya sendiri yang menggunakan teknik-teknik paling kejam dari warisan kerajaan. Serangan datang bertubi-tubi: Pedang Cahaya Bintang, Tapak Void, dan Ledakan Nyala Jiwa. Edwin hampir kewalahan, namun ia menenangkan pikirannya, mengingat kembali semua latihan yang ia lakukan dengan para pelayannya, para penjaga rahasianya, dan latihan bersama Arga semasa kecil.

Dengan langkah ringan, dia mengaktifkan teknik Langkah Riuh Senyap, teknik pergerakan yang ia pelajari dari siluman musang di hutan selatan. Dengan pergerakan cepat seperti bayangan, ia melompati serangan demi serangan.

Ketika kesempatan datang, Edwin memusatkan energi pada telapak tangannya, dan mengaktifkan teknik yang belum pernah dia gunakan sebelumnya—warisan dari ibunya: Pukulan Cahaya Jiwa.

Serangan itu menghantam sosok ilusi dirinya dan meledak dalam cahaya keemasan yang menyelimuti seluruh ruang.

Saat Edwin membuka matanya, ia kembali berdiri di hadapan makhluk spiritual itu. Kali ini makhluk itu berlutut, kemudian menghilang menjadi cahaya dan masuk ke dalam kristal tanduknya yang melayang ke tangan Edwin.

"Kau telah mewarisi Roh Penjaga. Kau kini menjadi Penjaga Gunung Angket, dan pewaris teknik langka yang hanya bisa diaktifkan oleh darah murni Aurathar."

Edwin menghela napas. Hari itu, kekuatan barunya mulai bangkit. Namun dia juga sadar, jalan kultivasi yang dia pilih bukanlah jalan pelarian. Ia telah memasuki jalur takdir yang tak dapat dihindari.

Malam itu, di dalam pondoknya, Edwin menuliskan sebuah pesan dan menyegelnya dengan kristal spiritual. Pesan itu ia serahkan pada elang hitamnya, Nero, yang telah menemaninya sejak kecil.

"Kirimkan ini pada Teresa," katanya. "Beri tahu dia bahwa aku akan tetap mengawasi dari kejauhan, dan aku takkan tinggal diam jika bahaya mendekat."

Di luar pondok, angin malam mengalir lembut. Namun di kejauhan, di perbatasan Kekaisaran Aurathar, sebuah kekuatan lama yang telah tidur selama ratusan tahun mulai bangkit. Di balik dinding Lembah Arkhon, pasukan berjubah hitam dengan lambang mata tertutup mempersiapkan ritual pemanggilan besar.

Perang belum tiba. Tapi takdir mulai bergerak.

More Chapters