Bab 8: Cemburu yang Terungkap
Pagi itu, Arvid melangkah dengan hati-hati menuju kampus, menyadari bahwa hari-harinya tidak pernah terasa ringan. Walaupun kampus seharusnya menjadi tempat belajar, baginya, itu adalah medan tempur yang tidak terhindarkan. Setiap langkah menuju kampus seolah mempersiapkannya untuk apa yang akan terjadi. Dia tahu, di luar kampus, ada Brian yang selalu mencari cara untuk mengganggunya, dan kali ini, bukan hanya kata-kata. Arvid sudah merasakan banyak kali hal tersebut, baik dengan sikap sombong atau bahkan serangan fisik yang sering dilakukan Brian di luar kampus.
Pada siang hari, setelah jam kuliah berakhir, Arvid berjalan keluar dari gerbang kampus, berusaha melangkah cepat. Namun, langkahnya terhenti saat dia mendengar suara langkah kaki yang familiar. Brian, bersama beberapa temannya, menghalangi jalan Arvid. "Mau kemana, Arvid?" tanya Brian dengan senyum sinis, matanya menatap dengan penuh kebencian. "Kau tidak bisa lari dariku begitu saja."
Arvid tahu apa yang akan terjadi. Brian mulai mendekat, mendorong tubuhnya dengan keras hingga Arvid terhuyung sedikit. Teman-teman Brian hanya tertawa, ikut menikmati situasi yang semakin tidak menyenangkan itu. "Kenapa tidak melawan, Arvid?" ejek Brian sambil menatapnya dengan penuh tantangan. "Kamu selalu memilih untuk lari, padahal kamu bisa melawan."
Arvid menahan diri, meskipun tubuhnya merasakan sakit karena dorongan itu. Dia tahu dia bisa melawan, tapi itu hanya akan menambah masalah. Jika dia bertindak, Brian dan teman-temannya pasti akan semakin memburuk. Arvid tidak ingin menjadi pusat perhatian dengan perkelahian yang sia-sia.
Namun, kali ini, Brian tidak puas dengan hanya mendorong. Dia mengambil langkah lebih jauh, menekan tubuh Arvid dengan keras ke dinding, membuatnya sedikit kesulitan bernapas. "Kau pikir kamu bisa selalu menghindar, Arvid? Kamu tidak punya tempat untuk lari!" Brian berteriak, matanya dipenuhi amarah yang tak terkendali.
Pada saat itu, dari kejauhan, Milim yang baru saja keluar dari kampus melihat kejadian tersebut. Hatinya terasa berat, dan perasaan curiganya semakin kuat. Dia berlari mendekat, matanya penuh kemarahan saat melihat Brian mengintimidasi Arvid. "Brian!" serunya dengan suara tegas, langsung menarik perhatian mereka.
Brian terkejut dan segera melepaskan cengkeramannya pada Arvid, namun dia masih berdiri dengan senyum sinis. "Ada apa, Milim? Ingin ikut campur?" tanyanya dengan nada mengejek.
Milim berdiri tegak di depan Brian, matanya tajam menatapnya. "Kenapa kamu terus mengganggu Arvid? Apa yang salah denganmu?" tanyanya dengan suara yang tidak bisa dibantah.
Brian merasa sedikit terpojok, namun dia tetap berusaha menunjukkan sikap acuh tak acuh. "Kenapa kamu peduli, Milim? Ini urusan kami, bukan urusanmu," jawabnya dengan cepat, berusaha mempertahankan wajah tegasnya.
Milim tidak bisa menahan amarahnya lagi. "Jangan coba menipu aku, Brian. Aku sudah melihat apa yang kamu lakukan! Kenapa kamu selalu menyakitinya?" tanyanya dengan nada yang lebih keras.
Brian menunduk, merasa canggung. Dia tidak bisa mengelak lagi. Setelah beberapa saat diam, dengan suara pelan, dia mengungkapkan alasan sebenarnya. "Aku… aku suka padamu, Milim," katanya dengan terbata-bata. "Dan Arvid… dia selalu ada di dekatmu. Itu membuatku marah dan cemburu. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya, jadi aku mulai membuli dia."
Milim terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Brian. Cemburu? Karena Arvid? Perasaan marah Milim mulai memuncak. "Jadi, kamu membuli Arvid hanya karena kamu cemburu? Itu alasanmu?" tanya Milim dengan suara penuh ketegasan, wajahnya berubah merah karena kemarahan.
Brian terlihat sangat bersalah, matanya tertunduk. "Aku tahu itu salah," katanya pelan. "Tapi aku terlalu bodoh untuk mengontrol perasaanku. Aku tidak tahu harus bagaimana."
Milim menggertakkan giginya, menahan amarah. "Itu tidak bisa diterima, Brian. Cemburu bukan alasan untuk menyakiti orang lain! Kamu harus berhenti!" suara Milim mulai keras, namun penuh penekanan.
Milim lalu berbalik dan menatap Arvid, yang berdiri terpaku di tempat, wajahnya menunjukkan kelelahan dan rasa sakit yang mendalam. "Arvid, aku… aku minta maaf. Aku tidak tahu selama ini kamu harus menanggung semua itu sendirian," katanya dengan lembut.
Arvid mengangkat kepalanya, mencoba tersenyum meski matanya tampak lelah. "Tidak apa-apa, Milim. Aku… hanya tidak ingin membuat masalah lebih besar," jawabnya dengan suara pelan, meskipun jelas ada rasa sakit di dalamnya.
Milim mengangguk, merasakan beban yang berat. "Kamu tidak perlu menanggungnya sendirian, Arvid. Tidak ada yang berhak menyakitimu seperti itu."
Setelah percakapan itu, Milim kembali menatap Brian dengan tatapan penuh peringatan. "Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu, Brian. Jika kamu benar-benar peduli, kamu akan meminta maaf kepada Arvid dan mengubah sikapmu."
Brian hanya bisa terdiam, merasa malu dan tidak tahu harus berbuat apa. Dengan pelan, dia mengangguk. "Aku akan minta maaf padanya," jawabnya, suara terdengar lemah.
Dan saat itu, Arvid merasa sedikit lebih lega, meskipun perasaan campur aduk di dalam hatinya masih ada. Dia tidak tahu apakah semuanya akan berakhir begitu saja, tapi dia merasa lebih kuat karena ada yang peduli. Milim, yang sebelumnya hanya menjadi teman biasa, kini terasa seperti seseorang yang benar-benar memahami dan siap mendukungnya.