Cherreads

Chapter 8 - BAB 8 : KEPALA DESA TERAKHIR

Hujan turun tipis saat Tsun Zhu tiba di kaki Desa Qingluan—desa terpencil yang telah lama hilang dari peta resmi Kekaisaran Liang. Letaknya di pegunungan barat, terselubung kabut dan cerita-cerita lama yang terdengar seperti dongeng: tentang para penjaga suara, tentang sumpah batu, dan tentang Kepala Desa yang tahu kapan langit bicara.

Ia datang bukan untuk meminta izin. Ia datang untuk bertanya—karena surat ayahnya menyebut satu tempat di luar Balairung yang belum pernah tersentuh api pengkhianatan: Menara Penyesalan, dan hanya Kepala Desa Terakhir yang tahu jalannya.

Desa itu sunyi.

Tak ada anak-anak bermain. Tak ada suara ayam atau gong penggiling padi. Yang ada hanya rumah-rumah kosong, gerbang-gerbang patah, dan simbol aneh di tiap pintu: lingkaran ganda yang disilang.

Ia mengetuk rumah pertama. Tak ada jawaban. Rumah kedua. Sunyi. Saat ia membuka pintu ketiga, suara samar terdengar dari belakang:

> "Jangan ketuk pintu mati, jika kau masih membawa suara hidup."

Tsun Zhu menoleh. Seorang wanita tua berdiri di bawah pohon plum kering. Rambutnya putih, matanya buta—tapi berdiri tegak seperti penjaga altar. Di pundaknya tergantung kalung dengan liontin kayu berbentuk mata.

"Aku mencari Kepala Desa Terakhir," katanya pelan.

Wanita itu tersenyum, tapi bukan senyum bahagia.

"Aku tidak kepala. Aku leher. Kepala sudah digantung bertahun lalu, karena menolak membuka Menara."

Tsun Zhu mendekat. "Tapi kau tahu jalan ke sana."

"Semua tahu. Tapi tak ada yang berani berjalan. Menara itu menyimpan suara yang terlalu tua, bahkan untuk dewa sekalipun."

Ia membuka kipas, memperlihatkan Kitab Gemuruh Langit. "Aku anak dari suara itu."

Wanita itu terdiam lama. Angin mendesis. Kabut memutar. Lalu ia menunjuk satu-satunya bangunan di pinggir desa yang masih utuh: kuil tua dengan atap merah tua dan pintu perunggu.

"Masuklah lewat pintu belakang. Jangan sentuh lonceng. Di dalam, ada tangga ke tanah. Turuni, sampai kau tak bisa dengar nafasmu sendiri. Di sanalah awal menara… dan suara ibumu."

Tsun Zhu menegang. "Ibu?"

Wanita itu mengangguk.

"Dia yang pertama menyegel suara itu. Sebelum ayahmu."

---

Tsun Zhu masuk kuil itu tanpa suara. Pintu belakang terbuka sendiri, seolah menanti. Tangga batu menurun curam ke kegelapan. Ia turun, satu per satu, memegang dinding lembap. Di dasar, lorong batu membuka ke sebuah aula bawah tanah.

Dan di sana…

Sebuah pilar setinggi manusia berdiri sendiri, di atasnya: tengkorak manusia dengan ukiran aksara kuno di dahinya. Di sekelilingnya, dinding tertulis dalam bahasa iblis: kisah suara, asal mula sumpah, dan nama yang disembunyikan oleh sejarah: Li Xuan, penjaga pertama, ibu Tsun Zhu.

Ia mendekat, menahan napas.

> "Kau telah menginjak jejaknya," suara samar terdengar. "Tapi suara yang diwariskan bukan hanya milik darah… ia milik penderitaan yang cukup dalam untuk menampung langit."

Tsun Zhu menutup matanya. Gema itu bukan dari luar. Tapi dari dalam kepalanya.

Ia meletakkan kipas di atas pilar, lalu berlutut. "Aku siap menampung langit, jika itu berarti membuka kunci kebenaran."

Tengkorak itu retak pelan. Cahaya biru merembes keluar, lalu melesat ke dadanya. Tsun Zhu terhuyung, tapi tidak roboh. Di dadanya, simbol baru terbentuk—lingkaran dan mata—menandakan bahwa suara ibunya kini tinggal bersamanya.

Dan ketika ia membuka matanya, aula itu berubah menjadi ruang baru. Menara Penyesalan telah muncul.

---

Ia kembali ke atas saat fajar. Wanita tua itu masih menunggu di bawah pohon plum.

"Kau dengar suaranya?" tanyanya.

Tsun Zhu mengangguk. "Dan kini aku tahu kenapa ibuku harus menghilang."

Wanita itu memejamkan mata, mengusap kalungnya.

"Kepala Desa tak pernah benar-benar mati, Nak. Ia hanya menyerahkan suara ke generasi berikutnya."

Ia menyerahkan sebuah peta kecil. "Ini adalah jalur tersembunyi ke Kota Dalam Balairung. Digunakan oleh ibumu dulu. Tapi ingat, jika kau bawa suara ke tempat salah, suara itu akan menghancurkanmu terlebih dahulu."

Tsun Zhu menggenggam peta itu erat.

Kini ia tak hanya membawa suara. Ia membawa warisan dua penjaga.

Dan perang yang dulu ia kira sembunyi… kini telah menyambutnya dengan wajah penuh darah.

More Chapters