Aula besar Akademi Zelgenia dipenuhi gemuruh bisikan para murid. Pilar-pilar kristal yang menjulang tinggi memantulkan cahaya keemasan dari langit-langit yang berkilauan. Ribuan siswa dari berbagai Alam Semesta dan dimensi duduk di kursi yang melayang, menunggu sosok yang akan berdiri di atas panggung utama.
Di tengah panggung, seorang pria tua dengan jubah hitam berbordir simbol bintang tak terhingga mengetukkan tongkatnya ke lantai marmer. Suara dentingan halus menggema, dan seluruh aula mendadak sunyi.
Pak Kepala Akademi, Archmage Zephiros, melangkah maju. Rambut putih panjangnya berkibar lembut, dan matanya yang bersinar ungu tua memandang setiap siswa dengan wibawa yang tak terbantahkan.
Ia menghela napas, lalu berbicara dengan suara yang bergema di seluruh aula:
"Para murid Zelgenia yang terhormat, hari ini aku membawa kabar yang akan mengguncang fondasi Multiverse."
Suasana makin tegang. Beberapa murid saling pandang, menahan napas.
"Dalam waktu dekat, akan diadakan Turnamen Antar Akademi Multiversal. Sebuah ajang di mana akademi dari seluruh penjuru Multiverse akan bertarung untuk membuktikan siapa yang paling unggul dalam kekuatan, strategi, dan ketangguhan jiwa."
Suara riuh langsung meledak di seluruh aula.
"Turnamen antar akademi?! Serius?!"
"Apakah ini termasuk akademi dari Alam Semesta Ilahi?"
"Kalau Akademi Nocturnia ikut, kita bakal tamat!"
Pak Zephiros mengangkat tangan, dan suara gaduh langsung mereda.
"Peserta yang terpilih akan mewakili Zelgenia, membawa nama akademi kita melintasi dimensi. Kalian akan bertarung melawan Outlayers Dan Omnireals dari Multiverse yang bahkan belum pernah kalian bayangkan. Para penguasa bintang, para pemanipulasi Ruang-Waktu, bahkan entitas yang mampu menulis ulang keberadaan itu sendiri."
Beberapa siswa menelan ludah, sementara yang lain malah terlihat bersemangat, matanya berkilau penuh ambisi.
"Namun, aku percaya pada kalian semua. Akademi Zelgenia telah melahirkan Outlayers, Dan Omnireals paling hebat yang pernah ada. Kita tidak akan gentar. Mulai hari ini, pelatihan khusus akan dimulai. Mereka yang ingin berpartisipasi akan melewati ujian seleksi yang lebih kejam dari apa pun yang pernah kalian alami. Kalian Boleh Bertarung Dengan Sesama Teman Kalian Jika Kalian Menunjukkan Bakat Dan Kekuatan Kalian, Maka Kalian Akan Terpilih, Hanya Sepuluh Orang Yang Diperbolehkan Untuk Ikut"
Ia memandang tajam ke seluruh ruangan, seakan ingin menanamkan tekad dalam hati setiap siswa.
"Buktikan bahwa Zelgenia pantas berdiri di puncak semua akademi. Tunjukkan pada multiverse... bahwa kita tidak akan pernah tunduk!"
Ruangan itu meledak dalam sorakan. Semua siswa berdiri, meneriakkan nama akademi mereka dengan penuh semangat.
Dan di tengah gemuruh itu, seorang siswa di barisan belakang tersenyum tipis. Matanya bersinar merah, penuh dengan ambisi yang membara.
Sorakan menggema di seluruh aula, membakar semangat para siswa Akademi Zelgenia. Namun, di sudut belakang ruangan yang sedikit redup, seorang pemuda duduk diam, hanya tersenyum tipis di balik keramaian.
Dia adalah Lucius Varvatos — yang dulu dikenal sebagai Aeron Azmaveth. Tapi saat ini, dia hanyalah siswa tingkat atas yang jarang diperhatikan, meskipun aura misteriusnya tak pernah luput dari bisikan-bisikan kecil para murid lain.
Lucius bersandar di kursinya, matanya yang Merah Berwarna seperti Darah Segar. Rambut Putihnya berjatuhan menutupi sebagian wajahnya, memberikan kesan dingin dan tak tertebak.
"Turnamen antar akademi, ya...?" gumamnya pelan, suara nyaris tertelan sorakan yang menggelegar. "Jadi aku bisa mengamati mereka lebih dekat..."
Di sebelahnya, seorang gadis berambut perak melirik penasaran. "Lucius? Kenapa kamu malah senyum-senyum sendiri?" tanyanya dengan nada bercanda. Gadis itu adalah Velanesa, teman dekatnya sekaligus satu-satunya orang yang berani berbicara santai dengannya.
Lucius meliriknya sekilas, sudut bibirnya masih melengkung. "Tidak ada. Aku hanya merasa... acara ini akan jadi lebih menarik daripada yang mereka kira."
Velanesa mengangkat alis. "Kamu bicara seolah kamu tahu sesuatu yang kita semua enggak tahu."
Lucius tak menjawab, hanya menatap panggung tempat Pak Zephiros berdiri. Mata tajamnya seolah menembus dimensi lain, mengamati lebih dari sekadar pengumuman yang baru saja disampaikan.
"Kalau turnamen ini benar-benar melibatkan seluruh akademi multiverse..." pikir Lucius, "aku akan bertemu dengan mereka."
Mereka yang Lucius maksud bukan sekadar siswa berbakat atau petarung hebat dari dimensi lain. Dia berbicara tentang eksistensi-eksistensi tertinggi yang keberadaannya mengguncang Multiverse itu sendiri.
Navel Luthizian.
Armel Marble.
Vesla Lazen.
Rio Kairos.
Nama-nama itu belum terdengar di telinga kebanyakan orang. Tapi Lucius, dia sudah mengetahuinya. Bukan dari buku, bukan dari pengajaran akademi, melainkan dari sesuatu yang lebih dalam.
Sebuah ingatan atau mungkin tidak, tidak ada yang mengetahuinya
Velanesa menghela napas. "Baiklah, kalau kamu udah mulai pakai gaya misteriusmu, aku malas debat. Tapi jangan lupa — kalau kamu ikut turnamen ini, aku bakal pastikan kamu enggak cuma jadi penonton."
Lucius tertawa pelan, suara yang jarang terdengar dari mulutnya. "Tenang saja, Vel. Aku tidak akan hanya menjadi penonton."
Dia menatap ke atas, ke langit-langit aula yang memancarkan galaksi. Matanya yang Merah bersinar lebih terang sejenak, seolah mengamati sesuatu yang jauh di luar jangkauan manusia Transenden.
"Karena aku akan menulis ulang segalanya... mulai dari sini."
---
Beberapa hari setelah pengumuman, Akademi Zelgenia berubah drastis. Arena latihan penuh sesak, murid-murid berlatih tanpa henti. Ujian seleksi diumumkan: hanya 10 siswa terbaik yang akan dipilih untuk mewakili akademi dalam turnamen multiversal.
Lucius, tentu saja, mendaftar tanpa keraguan.
Namun, dia sengaja menyembunyikan kekuatan aslinya. Dalam setiap pertarungan, dia hanya menggunakan 0% dari kemampuannya — dan bahkan dengan itu, dia masih mengalahkan lawan-lawannya tanpa berkeringat.
Salah satu duel paling menarik terjadi di arena utama, saat Lucius berhadapan dengan Raizen Faelthorne, salah satu siswa terkuat di akademi yang dijuluki "Raja Petir".
Raizen melompat ke tengah arena, petir berdesir di sekeliling tubuhnya. "Aku dengar kau jenius misterius, Lucius," ucapnya, suara menggelegar seperti badai. "Jangan kecewakan aku, oke?"
Lucius melangkah santai ke arena, tangan di saku jubahnya. "Aku akan berusaha membuatmu terhibur," katanya sambil tersenyum tipis.
Pertarungan dimulai, dan dalam sekejap, Raizen mengubah arena menjadi lautan kilat. Namun, Lucius bahkan tidak bergerak. Dia hanya berdiri di tempatnya, mengangkat satu jari, dan...
KRAK!
Petir Raizen lenyap begitu saja — seolah realitas menolak keberadaannya.
"Apa...?!" Raizen tertegun, napas memburu.
Lucius mengangkat bahu. "Maaf, aku sudah bosan."
Dengan satu tatapan, Raizen pingsan di tempat. Lucius menang tanpa menyentuhnya sama sekali.
Setelah seleksi selesai, Lucius duduk di tepi danau akademi, memandangi air yang memantulkan cahaya bintang. Dia tahu dia lolos, tahu dia akan bertarung di turnamen. Tapi yang lebih penting, dia merasakan sesuatu yang aneh...
Sebuah panggilan.
Bayangan hitam muncul di air, membentuk sosok samar dengan tanduk dan mata merah menyala.
"Yang Mulia Lucius," suara berat menggema. "Aku menunggumu di turnamen."
Lucius tersenyum kecil. "Diablo, ya?"
"Aku Akan Menunggumu, Melihat Anda Bertarung" Dengan Suara Agung Ia Berbicara
Lucius Tersenyum "Baiklah Aku Akan Memenangkan Turnamen Itu Kok"
Bayangan itu menghilang, meninggalkan Kehampaan di permukaan air. Lucius berdiri, menyisir rambutnya yang berantakan, lalu tertawa pelan.
"Ini akan lebih menyenangkan daripada yang kupikirkan."
"Kalo Dipikir-pikir Kenapa Diablo Memakai Wujud Aslinya Ya"
----
Aula Akademi Zelgenia kembali dipenuhi gemuruh antusiasme. Setelah seleksi ketat, 10 siswa terbaik akhirnya terpilih untuk mewakili akademi dalam turnamen antar akademi multiversal. Tapi perjalanan mereka belum selesai — justru ini baru awalnya.
Pak Zephiros, kepala akademi, berdiri di atas podium dengan tatapan tegas. Jubah ungunya berkibar lembut, dan tongkat kristal di tangannya bersinar redup. Dia menyapu pandangan ke arah para siswa yang terpilih, matanya penuh kebanggaan sekaligus kekhawatiran.
"Selamat untuk kalian yang lolos seleksi." Suaranya bergema, membawa ketenangan sekaligus tekanan. "Namun, kekuatan kalian saat ini belum cukup. Kalian harus lebih kuat... jauh lebih kuat."
Ruangan langsung hening. Para siswa saling pandang, menyadari bahwa seleksi hanyalah pintu pertama dari perjalanan panjang mereka.
"Mulai hari ini," lanjut Pak Zephiros, "kalian akan menjalani pelatihan khusus di Hyperrealm Arena, dimensi terisolasi yang diciptakan untuk melampaui batas-batas kekuatan makhluk hidup."
Velanesa mengangkat tangan. "Pak, kenapa kita perlu pelatihan tambahan? Bukannya kita sudah yang terkuat di akademi?"
Pak Zephiros menghela napas. "Karena lawan yang akan kalian hadapi bukan hanya siswa berbakat dari dimensi lain... kalian akan menghadapi eksistensi yang bahkan bisa menghancurkan realitas hanya dengan keberadaannya."
Lucius yang berdiri di belakang hanya tersenyum tipis, seperti sudah mengantisipasi jawaban itu.
"Baiklah," kata Pak Zephiros sambil mengetuk tongkatnya ke lantai. "Kita mulai persiapannya sekarang juga."
----
Portal raksasa terbuka di halaman akademi, memancarkan cahaya biru yang berputar seperti galaksi mini. Satu per satu siswa melangkah masuk, termasuk Lucius dan Velanesa. Begitu mereka menyeberang, pemandangan langsung berubah drastis.
Hyperrealm adalah dimensi yang tidak mengikuti hukum fisika normal. Langitnya berputar seperti pusaran kosmik, tanahnya terbuat dari kristal yang berdenyut seolah memiliki detak jantung, dan gravitasi berubah-ubah sesuai dengan fluktuasi energi Tatanan semesta.
"Selamat datang di Hyperrealm," suara bergema menyapa mereka. Seorang pria berambut putih panjang melayang di udara, matanya bersinar ungu. "Aku adalah Altair, sang Penjaga Dimensi Latihan."
Altair menatap tajam ke arah mereka, seakan mampu menembus pikiran setiap siswa.
"Di tempat ini, kalian akan menjalani 10 tahap pelatihan yang masing-masing lebih berbahaya daripada yang sebelumnya."
Velanesa mengepalkan tinjunya, semangat menyala-nyala di matanya. "Apa yang harus kami lakukan dulu?"
Altair tersenyum samar. "Bertahan hidup."
Seketika tanah berguncang, dan makhluk-makhluk kosmik bermunculan dari bayangan. Tubuh mereka terbuat dari kegelapan murni, mata mereka bersinar merah seperti bintang sekarat.
"Tahap pertama: Melawan Voidlings — makhluk yang lahir dari kekosongan multiversal."
Voidlings menggeram, bergerak seperti kabut hitam yang mengalir ke segala arah. Mereka menyerang dengan cakar yang menembus dimensi, seolah bisa merobek realitas itu sendiri.
Raizen Faelthorne, si Raja Petir, langsung mengisi tubuhnya dengan listrik, meluncurkan sambaran petir ke arah makhluk-makhluk itu. Namun, Voidlings hanya menyerap energinya dan menjadi lebih besar.
"Serang fisik enggak mempan?! Apa-apaan ini?!" teriak Raizen.
Lucius melangkah ke depan, mengangkat satu jari ke arah Voidling yang mendekat.
"Skill Pertama The Will of Law: Law of Existence Erasure..." bisiknya pelan.
Voidling yang mendekat tiba-tiba berhenti bergerak, lalu menghilang begitu saja — seolah tidak pernah ada.
Velanesa melirik Lucius, terengah-engah setelah menghancurkan beberapa Voidling dengan The Will Miliknya. "Lucius! Apa yang baru saja kamu lakukan?!"
Lucius hanya tersenyum samar. "Aku? Aku hanya... menulis ulang sedikit kenyataan."
Namun, dia sengaja menahan kekuatannya. Ini bukan saatnya menunjukkan segalanya.
-----
Setelah mengalahkan Voidlings pada tahap pertama, para siswa kembali ke Akademi Zelgenia. Tubuh mereka penuh luka, energi mereka terkuras habis — bahkan Raizen yang biasanya bersemangat langsung tumbang begitu menginjak tanah akademi.
Lucius hanya berjalan santai, tanpa setetes keringat pun. Dia melirik teman-temannya yang berbaring kelelahan di taman akademi, lalu menghela napas.
"Latihan ini terlalu berlebihan," gumamnya pelan. "Bukan untukku... tapi untuk mereka."
Velanesa yang bersandar di bangku, dengan luka-luka kecil di lengan, mendengarnya dan tertawa kecil. "Kamu bisa ngomong gitu karena kamu enggak capek, Lucius."
Lucius mengangkat bahu. "Aku cuma bilang kenyataan."
---
Siklus Latihan Brutal
Hari ke-1 & 2: Mereka bertarung melawan Voidlings tanpa henti. Setelah dua hari berjuang, mereka diberi waktu 2 hari untuk istirahat sebelum kembali berlatih.
Raizen langsung pulang ke rumahnya di dimensi petir untuk mengisi ulang energinya. Velanesa menghabiskan waktu membaca buku-buku sihir di perpustakaan akademi, mencoba memahami lebih banyak teori untuk melawan makhluk-makhluk kosmik.
Dan Lucius?
Lucius duduk di atas menara akademi, memandangi langit malam. Dia tidak menggunakan waktu istirahatnya untuk tidur atau bersantai — dia hanya diam, berpikir, seolah merencanakan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar turnamen.
"Apa aku harus mulai menulis ulang bagian ini juga...?" bisiknya samar.
---
Tahap 2 — Serpihan Waktu
Dua hari kemudian, mereka kembali ke Hyperrealm Arena. Kali ini, musuhnya adalah Serpihan Waktu — makhluk yang bisa mengulang kematian targetnya tanpa henti.
Velanesa mati 5 kali dalam pertempuran pertama, tetapi setiap kali dia kembali, tekadnya makin kuat. Raizen mulai kehilangan kendali emosinya, tetapi akhirnya menemukan cara untuk mengalirkan listrik melalui dimensi waktu, merusak struktur makhluk itu.
Lucius? Dia hanya menggerakkan jarinya sekali. Serpihan Waktu yang menyerangnya langsung lenyap, seolah tidak pernah ada dalam realitas mana pun.
Setelah dua hari penuh penderitaan, mereka kembali istirahat. Kali ini, mereka semua bahkan tidak bisa berdiri tegak saat keluar dari Hyperrealm.
Raizen tertidur 36 jam penuh tanpa bangun sedikit pun. Velanesa berendam di kolam penyembuhan akademi sambil merapal mantra pemulihan berulang kali.
Lucius? Dia kembali duduk di menara, tersenyum tipis sambil menulis sesuatu di udara dengan jari telunjuknya.
"Kalau terus begini, mereka akan hancur sebelum turnamen dimulai."
---
Tahap 3 — Refleksi Absolut
Setelah dua hari istirahat, mereka kembali berlatih. Kali ini, mereka harus melawan Refleksi Absolut — bayangan diri mereka sendiri yang memiliki kekuatan 10 kali lipat lebih kuat.
Raizen hampir gila melihat versi dirinya yang lebih kuat dan lebih brutal. Velanesa hampir menyerah setelah kalah ratusan kali melawan refleksinya yang bisa merapal mantra lebih cepat daripada dia.
Lucius?
Lucius hanya berdiri diam saat refleksinya muncul. Bayangan Lucius tersenyum, mengangkat tangannya untuk menyerang... lalu langsung menghilang.
"Kalau aku tidak menginginkan refleksi, maka refleksi itu tidak akan ada."
Setelah dua hari lagi, mereka pulang. Kali ini, mereka bahkan tidak berbicara satu sama lain. Mereka hanya berbaring di asrama, menatap langit-langit sambil mempertanyakan pilihan hidup mereka.
Velanesa bahkan hampir pingsan saat berjalan ke kamarnya.
"Kenapa... ini... berat banget..." gumamnya sebelum tumbang di depan pintu.
Lucius yang lewat hanya menatapnya sebentar, lalu menghela napas. Dia mengangkat tangan, menciptakan mantra pemulihan sederhana, lalu melanjutkan jalannya seolah tidak terjadi apa-apa.
---
Hari-hari Berulang
Polanya terus berlanjut. Mereka berlatih 2 hari, lalu istirahat 2 hari. Setiap kali mereka kembali ke Hyperrealm, tantangan makin gila:
Tahap 4: Melawan makhluk yang bisa menghapus hukum realitas hanya dengan tatapan.
Tahap 5: Berjuang dalam ruang kosong tanpa waktu, di mana mereka harus bertarung hanya dengan kemauan murni.
Tahap 6: Melawan entitas yang bisa menciptakan ulang diri mereka sendiri secara tak terbatas.
Raizen nyaris berhenti. Velanesa menangis diam-diam di kamarnya. Tapi setiap kali mereka hampir menyerah, mereka kembali bangkit.
Dan Lucius?
Lucius tetap sama — selalu tenang, selalu tersenyum tipis, seolah tahu persis ke mana semuanya akan berakhir.
---
Percakapan Tengah Malam
Di malam sebelum tahap ketujuh, Velanesa mendatangi Lucius di atas menara. Matanya bengkak, rambutnya berantakan, tapi ada api kecil yang masih menyala di tatapannya.
"Lucius... kita bakal kuat, kan?" tanyanya lirih.
Lucius menatapnya sebentar, lalu tersenyum.
"Ya. Kalian akan kuat."
Velanesa menggigit bibirnya. "Bukan cuma kami. Kamu juga."
Lucius terdiam sebentar.
"Aku?"
Velanesa mengangguk. "Aku enggak tahu kenapa... tapi rasanya kamu kayak udah siap dari awal. Tapi aku yakin, kamu juga akan jadi lebih kuat nanti."
Lucius menatap langit, matanya penuh misteri. "Mungkin."
Dalam hatinya, dia tahu — dia tidak hanya akan menjadi kuat.
-----
Malam itu, di atas menara akademi, Velanesa akhirnya tertidur bersandar di dinding batu. Napasnya teratur, wajahnya yang lelah masih menyimpan tekad untuk terus berjuang. Lucius duduk di dekatnya, menatap langit dengan tatapan kosong.
Angin dingin berembus pelan, membawa aroma embun malam. Tapi tiba-tiba, udara di sekitar mereka terasa berubah.
Srrrkkk...
Bayangan memanjang di lantai batu, seolah merayap keluar dari kegelapan. Langkah pelan terdengar mendekat, nyaris tanpa suara.
Tap... Tap...
Lucius tidak menoleh. Dia hanya tersenyum tipis.
"Kamu akhirnya datang, Lugiel."
Dari kegelapan, muncullah sosok tinggi dengan rambut hitam pekat yang tergerai hingga pinggang. Matanya berwarna abu-abu, dingin, tanpa sedikit pun emosi. Seragam akademinya tertata rapi, tanpa noda atau kerusakan — seakan dia tidak pernah merasakan lelah atau sakit.
Lugiel Swartz.
Orang yang bahkan lebih dingin daripada Lucius Varvatos sendiri.
Dia berdiri tegak, tangan disilangkan, menatap Lucius dengan tatapan tajam yang menusuk hingga ke jiwa.
"Kau tidak berubah," ucap Lugiel singkat. Suaranya datar, nyaris tanpa intonasi.
Lucius mengangkat bahu. "Aku tidak perlu berubah."
Lugiel mendekat, lalu berdiri di tepi menara, memandangi akademi yang diterangi cahaya bulan.
"Mereka terlalu lemah," katanya pelan, nyaris berbisik. "Kalau mereka terus seperti ini, mereka tidak akan bertahan di turnamen. Bahkan di tahap latihan ini saja, mereka hampir mati berkali-kali."
Lucius tersenyum samar. "Karena itulah mereka berlatih."
Lugiel menggeleng pelan. "Latihan seperti ini hanya memperlambat kematian mereka."
"Kau bicara seakan-akan kau tak pernah kesulitan," ujar Lucius sambil meliriknya.
Lugiel menatap Lucius, tatapannya tajam seperti belati es. "Aku tidak pernah kesulitan."
Dan itu bukan sombong — itu fakta.
Selama latihan, Lugiel adalah satu-satunya siswa selain Lucius yang tidak pernah terluka, tidak pernah kelelahan, dan tidak pernah kalah.
Bukan karena dia lebih kuat secara fisik atau sihir, melainkan karena dia menguasai sesuatu yang jauh lebih berbahaya, Dia Sudah Menguasai Kemampuan The Will Sepenuhnya Bahkan Melebihi Sepenuhnya
Tapi bukan itu yang membuatnya mengerikan.
Yang membuat Lugiel benar-benar menakutkan adalah... dia mempelajari cara menggunakannya langsung dari Lucius Varvatos sendiri.
Dan dia bahkan melampaui batas kemampuan itu.q
---
Lugiel, Sang Pengendali Kehendak Mutlak
Lucius pernah melatih Lugiel secara pribadi. Dalam pelatihan brutal itu, Lucius memaksa Lugiel untuk mengaktifkan The Will secara terus-menerus, memaksanya melampaui batas berkali-kali hingga dia benar-benar paham cara mendistorsi realitas dengan pikirannya saja.
Sekarang, Lugiel bisa:
Menghentikan waktu tanpa mantra.
Menghapus serangan musuh hanya dengan berpikir.
Mengubah hukum alam sesuai keinginannya.
Dan yang paling mengerikan... dia tidak perlu mengaktifkan kemampuan itu secara sadar.
The Will-nya sudah menyatu dengan nalurinya.
Kalau ada bahaya, realitas langsung menyesuaikan diri untuk melindunginya.
Kalau dia ingin menang, kekuatan lawan otomatis melemah.
Dan Dia Bukan Outlayers Yang Memiliki Satu Atau Dua The Will, Karena The Will Dia Sudah Dapat Menguasai Seluruh Kemampuan The Will Akibat Latihan Yang Ia Jalani
Lucius sendiri yang membentuk monster ini.
---
Percakapan Dua Bayangan
Lucius melirik Lugiel. "Kalau menurutmu latihan ini sia-sia, kenapa kau masih ikut?"
Lugiel menatap langit. "Aku tidak tertarik dengan latihan ini. Aku hanya tertarik padamu."
Lucius tertawa kecil. "Tertarik padaku? Jangan bilang kau jadi penggemar."
"Aku ingin tahu kapan kau akan berhenti berpura-pura."
Lucius langsung diam.
Lugiel menoleh, matanya bersinar dingin. "Kau sengaja menahan diri. Kau bisa saja mengakhiri semua ini dalam sekejap. Jadi kenapa kau biarkan mereka menderita?"
Lucius menatapnya balik, senyumnya menghilang perlahan.
"Karena mereka harus menderita."
Lugiel mengernyit. "Kenapa?"
Lucius bangkit berdiri, matanya bersinar samar di bawah cahaya bulan.
"Karena penderitaan adalah satu-satunya jalan untuk melampaui batas manusia."
Dia melangkah ke tepi menara, memandang akademi yang sunyi.
"Kalau mereka ingin bertahan di turnamen nanti... mereka harus belajar mati dulu."
Lugiel terdiam, lalu tersenyum tipis untuk pertama kalinya.
"Aku mengerti."
---
Janji di Malam Sunyi
Sebelum pergi, Lugiel menatap Lucius untuk terakhir kalinya malam itu.
"Kalau mereka mati di tengah jalan, aku tidak akan peduli."
Lucius mengangguk pelan. "Itu terserah mereka."
"Tapi kalau mereka bertahan..." Lugiel menyipitkan mata. "Aku ingin melihat seberapa jauh mereka bisa melangkah."
Lucius tersenyum kecil, lalu berbisik:
"Mungkin lebih jauh daripada yang kita bayangkan."
Lugiel memutar tubuhnya dan menghilang ke dalam bayangan, meninggalkan Lucius yang kembali duduk di atas menara, sendirian...
Menatap langit, sambil merencanakan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar turnamen.
-----
Langit pagi menyala keemasan, menyinari halaman Akademi Zelgenia yang sunyi setelah malam panjang. Para siswa masih tertidur setelah sesi latihan brutal kemarin, kecuali segelintir orang yang tak membutuhkan istirahat seolah tubuh mereka melawan hukum alam.
Dan di antara mereka, berdiri seseorang yang bahkan di antara para monster, dia adalah anomali terbesar.
Lugiel Swartz.
Dia duduk di bawah pohon besar, matanya yang kelabu menatap langit tanpa ekspresi. Angin berhembus menggoyang rambut hitamnya, tapi dia tak bergerak sama sekali, seakan menjadi bagian dari bayangan yang melingkupinya.
Namun, di dalam dirinya... kekuatan yang tak masuk akal terus berdenyut.
---
Outlayers dan Omnireals
Dalam verse ini, manusia telah berevolusi menjadi Outlayers — makhluk yang melampaui batas fisik dan mental manusia biasa. Mereka semua memiliki kekuatan misterius yang disebut The Will: kemampuan untuk menghendaki Hal-hal Tertentu
Namun, ada tingkatan yang lebih tinggi: Omnireals.
Omnireals yang mencapai mutasi sempurna dan mampu mengakses kedalaman The Will mereka ke level absolut.
Biasanya, seorang Outlayers Dan Omnireals hanya memiliki satu The Will.
Memiliki dua The Will adalah keajaiban yang sangat langka.
Tetapi ada dua anomali yang merusak semua logika itu.
---
Shinomiya Velanesa — Gadis dengan Tiga Belas Kehendak
Velanesa adalah Omnireals terkuat yang pernah ada, bahkan jika akademi hanya mengetahui sebagian kecil kekuatannya.
Dia memiliki Tiga Belas The Will — sesuatu yang seharusnya mustahil:
I. The Will of Creation — Mengubah imajinasi menjadi kenyataan, Dan Lain-lain
II. The Will of Narratives — Mengontrol alur peristiwa seperti menulis cerita, Dan Lain-lain
III. The Will of Omnipresent — Berada di semua tempat dalam satu waktu Dan Lain-lain
IV. The Will of Law — Menciptakan hukum absolut yang tak bisa dilanggar Dan Lain-lain
V. The Will of Endless — Menghapus batasan waktu dan eksistensi Dan Lain-lain
VI. The Will of Void — Menyerap dan melenyapkan apapun ke dalam kekosongan absolut Dan Lain-lain
VII. The Will of Clear — Menghapus segala efek, kekuatan, atau fenomena yang ada Dan Lain-lain
VIII. The Will of Elemental — Menguasai semua elemen di semesta Dan Lain-lain
IX. The Will of Cycle — Mengontrol siklus hidup, mati, dan reinkarnasi Dan Lain-lain
X. The Will of Fiction — Mengubah realitas menjadi fiksi dan sebaliknya Dan Lain-lain
XI. The Will of Prologue — Mengulang awal waktu tanpa merusak stabilitas realitas Dan Lain-lain
XII. The Will of Conceptual — Mengontrol konsep fundamental eksistensi Dan Lain-lain
XIII. The Will of Transmute — Mengubah satu bentuk keberadaan menjadi bentuk lain sepenuhnya Dan Lain-lain
Namun, yang diketahui akademi hanyalah The Will of Void dan The Will of Transmute.
Velanesa menyembunyikan sisanya, hanya memperlihatkan kekuatannya yang sebenarnya kepada Lucius — orang yang paling dia percaya.
Walaupun dia sangat introvert dan cenderung menghindari keramaian, Velanesa menjadi sosok yang Lumayan ceria dan bersemangat saat bersama Lucius.
Seolah, dia hanya bisa merasa "hidup" ketika berada di dekatnya.
---
Lugiel Swartz — Anomali Tanpa Batas
Kalau Velanesa adalah gadis dengan Tiga Belas The Will... Lugiel adalah makhluk yang lebih mengerikan lagi.
Dia bukan Omnireals.
Dia hanyalah Outlayers biasa yang awalnya hanya memiliki dua The Will:
The Will of Blankness — Menghapus keberadaan, pikiran, atau ingatan sesuatu secara total Dan Lain-lain
The Will of Eyes — Mengamati segala realitas, termasuk kemungkinan, masa lalu, dan masa depan Dan Lain-lain
Tetapi setelah dilatih oleh Lucius Varvatos secara brutal... sesuatu berubah.
Entah bagaimana caranya, Lugiel bisa menggunakan semua kemampuan The Will yang pernah ada.
Bukan hanya meniru atau meminjam.
Dia benar-benar bisa menggunakan semuanya dengan potensi maksimalnya.
Meski secara teknis, definisi dirinya masih memiliki dua The Will...
Dia telah melampaui batas itu dengan cara yang bahkan Lucius sendiri tidak bisa jelaskan.
---
Percakapan di Hutan
Saat matahari mulai naik, Lucius akhirnya berjalan mendekati pohon tempat Lugiel duduk.
"Kau belum tidur?" tanya Lucius pelan.
Lugiel menggeleng. "Aku tidak perlu tidur."
Lucius duduk di akar pohon, menyilangkan tangan di belakang kepala. "Kalau kau terus begini, kau bisa jadi lebih gila dari biasanya."
Lugiel menatapnya tanpa ekspresi. "Aku sudah gila sejak kau melatihku."
Lucius tertawa kecil. "Poin bagus."
Mereka berdua terdiam untuk beberapa saat, hanya ditemani suara burung dan desir angin.
Lalu Lugiel bicara lagi, suaranya pelan tapi tajam.
"Velanesa semakin kuat."
Lucius meliriknya. "Iya. Dia punya potensi yang bahkan aku belum tahu batasnya."
Lugiel memiringkan kepala sedikit. "Tapi kau tahu dia bukan satu-satunya yang punya potensi besar, kan?"
Lucius tersenyum samar. "Kau bicara tentang Raizen?"
Lugiel mengangguk pelan.
Raizen adalah salah satu siswa paling berbakat di akademi, dan Lucius sendiri mengakui bahwa dia memiliki potensi yang bisa menyamai Lugiel di masa depan.
Raizen memiliki The Will of Darkness dan The Will of Lightning — kombinasi kekuatan destruktif yang bisa menghancurkan dimensi dengan satu serangan jika dikembangkan sepenuhnya.
"Kalau Raizen belajar lebih cepat... dia bisa jadi ancaman buatku." ujar Lugiel dingin.
Lucius tertawa lagi. "Kau takut dia mengalahkanmu?"
Lugiel memejamkan mata, lalu berkata:
"Aku tidak takut kalah. Aku takut dia mati sebelum bisa melawanku dengan serius."
Lucius menghela napas panjang, lalu berdiri sambil merentangkan tangan.
"Kalau begitu, ayo kita pastikan dia tidak mati."
Dia menatap Lugiel, matanya bersinar tajam.
"Kita akan buat mereka semua jadi lebih kuat — sampai mereka bisa menghancurkan Omniverse ini kalau perlu."
Lugiel bangkit berdiri, membenahi seragamnya.
"Baik."
Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka berdua berjalan kembali ke akademi — siap untuk melanjutkan latihan yang lebih brutal dari sebelumnya.
Latihan yang akan mengubah para siswa menjadi makhluk yang bisa menantang dewa sekalipun.
----------
— To be continued