Bab 5
"Kehormatan yang Dipertahankan dalam Diam"
Pagi di rumah kami selalu sederhana.
Suamiku, Fathan, menyeduh kopi hitam seperti biasa, sementara aku menyapu halaman kecil yang dihiasi bunga-bunga kertas pemberian tetangga.
Kami tidak hidup dalam kemewahan, tapi juga tidak pernah berkekurangan.
Cukuplah rumah mungil ini menjadi saksi bisu tawa-tawa kami, doa-doa panjang yang kami panjatkan selepas isya, dan bisikan syukur setiap kali matahari terbit membawa harapan baru.
Fathan, dengan jubah putih dan tasbih yang jarang lepas dari tangannya, adalah lelaki yang menghidupkan agama bukan hanya di lisannya,
tetapi juga dalam caranya memperlakukanku: dengan sabar, dengan penuh kasih, dan dengan hormat yang membuatku merasa dimuliakan.
Meski rumah kami masih sunyi dari tawa anak-anak,
tak pernah sekalipun kudengar keluhan keluar dari bibirnya.
Setiap malam, ia berdoa panjang, suaranya lirih, namun aku tahu...
doa-doa itu selalu menyebut namaku dengan penuh cinta.
Aku, seharusnya, adalah perempuan paling beruntung.
Tapi manusia, barangkali, memang diciptakan dengan ruang kosong di hatinya —
ruang yang kadang diisi oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Di sela aktivitas kosongku,
di antara lipatan baju yang kucuci dan lantai yang kupel dengan air sabun,
kadang-kadang bayangan masa lalu itu datang...
Bayangan tentang seseorang yang dulu kutemui tanpa sengaja,
seseorang yang kini hidup di lorong-lorong kenangan yang tak boleh kubuka.
Arka.
Namanya masih berdesir di sudut pikiranku,
seperti angin kecil yang tak mampu kuusir,
namun juga tak kuizinkan bertiup terlalu kencang.
Aku beristighfar dalam hati.
Berkali-kali mengingatkan diriku bahwa cinta sejati bukan tentang siapa yang membuat hati berdebar,
tetapi tentang siapa yang telah Allah percayakan untuk kuperjuangkan.
Dalam sujud panjangku, aku berbisik,
"Ya Allah, tutup rapat-rapat pintu hatiku, agar kehormatan suamiku tidak tercemar oleh dosa yang hanya berawal dari lamunan."
Karena aku tahu,
dalam dunia ini, menjaga hati lebih berat daripada menjaga tubuh.
Dan aku, Naya, memilih untuk setia — bukan hanya dalam laku,
tetapi juga dalam rasa.
Aku tidak ingin mengkhianati Fathan,
tidak dengan perbuatan,
tidak pula dengan pikiran.
Maka, aku simpan rapat-rapat perang batin ini.
Kubiarkan hanya aku dan Tuhanku yang tahu.
Aku memilih untuk menjadi perempuan yang menjaga kehormatan suaminya,
bahkan dari sesuatu yang tak pernah benar-benar terjadi.