"Maafkan aku, Ayah. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan kekuasaan dan politik. Biarlah Kakak dan Adik yang mengurus semua itu. Izinkan aku hidup santai. Aku hanya akan turun tangan jika keselamatan kalian atau kekaisaran terancam."
"Ed, sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Tak adakah sedikit keinginanmu untuk meraih sesuatu yang lebih baik?" tanya Kaisar dengan nada kecewa.
"Benar kata Kak Arga, Kak. Ikutlah bersama kami membangun kekaisaran ini menjadi lebih kuat, seperti kekaisaran lainnya," tambah Tessa, penuh harap.
"Aku pikir kalian sudah cukup. Kalian sangat kuat, dan Ayahanda adalah yang terkuat di antara tiga benua. Siapa yang berani mengancam kekaisaran kita? Hahaha!" Edwin tertawa santai.
Sang Kaisar tak menjawab, tetapi matanya tertarik pada daging panggang di hadapannya. Aroma harum yang menggoda membuatnya tergoda mencicipi. Begitu daging itu menyentuh lidahnya, sensasi luar biasa meledak di mulutnya, seolah ia sedang menikmati matahari senja di tepi pantai yang damai.
Arga yang melihat ayahnya terdiam dan menikmati makanan dengan begitu khusyuk, penasaran dan akhirnya ikut mencicipi. Begitu ia menggigit daging itu, semua pengendalian dirinya runtuh. Rasa itu... luar biasa. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkannya.
Edwin hanya tersenyum kecil. Ia sudah tahu reaksi itu akan datang. Ia memberi isyarat kepada kokinya untuk bersiap. Ia tahu, ayahnya pasti akan meminta sang koki menjadi bagian dari istana—sebuah langkah yang telah Edwin rencanakan untuk melindungi pelayannya saat ia pergi.
"Edwin, apakah ini masakan kokimu?" tanya sang Kaisar.
"Benar, Ayah. Dia koki yang saya rekrut dari sebuah desa di utara."
"Mulai sekarang, bolehkah dia menjadi koki pribadi Ayah?"
"Kalau begitu... siapa yang akan memasak untukku nanti, Ayah?" Edwin mengangkat alis.
"Hahaha! Tinggallah bersamaku, dia bisa memasak untuk kita semua."
"Benar, Kakak!" seru Tessa. "Masakan ini luar biasa! Aku bahkan merasa akan menembus batas kultivasiku hanya karena rasa ini. Biarkan dia menjadi koki istana!"
Edwin tersenyum puas. "Dona, panggil yang lainnya."
"Baik, Pangeran."
Tak lama, para wanita yang datang adalah para pelayan dan penjaga pribadi Edwin. Aura mereka begitu kuat hingga membuat Kaisar terdiam waspada.
"Kalian sungguh lancang," seru Tessa sambil menghunus pedangnya.
"Adik, jangan terlalu sensitif," Edwin menenangkannya. "Ayah, mereka adalah pasukan elit yang kulatih sendiri. Dengan kekuatan mereka saat ini, kekaisaran ini bisa runtuh dalam sekejap. Tapi mereka tidak diciptakan untuk itu. Mereka ada untuk melindungi kalian... dari bayang-bayang."
Tessa langsung menyadari apa yang akan terjadi. "Kakak... jangan bilang kau akan pergi."
"Benar. Aku akan mengasingkan diri ke Gunung Angket, menutup diri dari dunia persilatan. Kumohon, jangan halangi niatku."
Kaisar menghela napas. "Kau pasti sudah mempersiapkan ini sejak lama. Jalan pikiranmu selalu sulit ditebak, Ed. Tapi... kenapa harus mengasingkan diri?"
"Ayah, aku hanya ingin hidup damai. Tolong izinkan aku pergi."
"Apa ibumu sudah tahu?"
"Akan aku beritahu setelah ini."
"Datanglah padanya. Ia yang paling mengkhawatirkanmu. Ayah tak akan menghalangimu. Jaga dirimu baik-baik."
"Kami akan mengunjungimu jika sempat," ujar Arga.
"Kau tahu kami bisa sampai di sana hanya dengan beberapa langkah," tambah Tessa.
"Aku tahu... Terima kasih. Tolong bawa mereka—koki, pelayan, dan penjagaku. Mereka kini menjadi pelindung utama kekaisaran."
Kaisar mengangguk. "Mulai hari ini, segala perintah yang mereka terima dariku, ibumu, kakak, dan adikmu, anggaplah sebagai perintah darimu."
"Kami siap, Pangeran!" jawab mereka serempak. Namun seorang wanita di barisan belakang tampak gelisah.
"Lina, ada yang ingin kau katakan?" tanya Edwin.
"Bolehkah saya ikut, Tuan?"
"Kau adalah tangan kanan ibuku. Bukankah itu sudah cukup penting? Tapi... kau boleh mengunjungiku kapan pun kau mau. Bawalah ibuku bersamamu, itu akan sangat berarti bagiku."
"Baik, Tuan."
Setelah semua siap, mereka meninggalkan kastil Edwin. Sang pangeran melambaikan tangan. Dalam sekejap, taman kembali bersih seperti sedia kala. Kastil itu telah dilindungi dengan formasi kuat: pertahanan, serangan, ruang, dan waktu—sebuah benteng abadi.
Setelah mengatur segalanya, Edwin menuju kastil Permaisuri untuk berpamitan.
"Ibu Suri sudah menunggu, Pangeran," ujar pengawal.
"Terima kasih," jawab Edwin.
"Kenapa baru sekarang kau ingat pada wanita tua ini, Ed?"
"Ibu... maafkan aku. Aku ingin pamit. Aku akan mengasingkan diri ke utara."
"Jadi benar yang dikatakan ayah dan saudaramu... Kenapa mereka membiarkanmu pergi?! Kau adalah pangeran! Apapun yang kau inginkan, ibu bisa penuhi!"
Ibu..."
"Kau anak yang paling malas! Apa yang bisa kau lakukan sendirian di luar sana?! Jangan pergi, Nak!" Permaisuri Kasia menangis, hatinya hancur membayangkan putranya hidup jauh dari istana.
"Ibu, aku hanya berlatih di gunung. Ibu bisa datang kapan saja. Dan... aku sudah memilih pelayan terbaik untuk mendampingi Ibu."
"Lina? Apakah dia calon menantu Ibu?" tanya Kasia, tersenyum tipis di sela tangisnya.
"Ah... bukan, Bu. Mereka semua temanku, sudah seperti saudara."
Butuh waktu lama bagi Edwin untuk meyakinkan ibunya. Tapi akhirnya, ia mendapatkan restu. Langkahnya pun tak lagi terbebani—jalan menuju kebebasan, telah terbuka.