Cherreads

Chapter 3 - Bab 3 – membangun impian

Setelah kelas berakhir, Milim duduk termenung di taman kampus, buku catatannya tergeletak di pangkuannya. Ia menggambar kasar sebuah diagram: komputer, kamera, mikrofon, ide-ide konten game, dan sebuah garis besar bertuliskan "Channel YouTube".

"Aku harus mulai sekarang," pikirnya. Ia tahu, dunia digital akan terus berkembang, dan menjadi YouTuber gaming bisa menjadi jalan baru untuk membangun masa depan yang lebih baik. Dia punya pengetahuan tentang tren masa depan, tapi tetap butuh keberanian untuk melangkah.

Langkah pertamanya adalah mengumpulkan peralatan: komputer mumpuni, kamera sederhana, headset gaming, dan software editing. Semua itu butuh dana, tapi Milim sudah bertekad untuk menggunakan tabungan kecilnya dari pekerjaan part-time dan uang jajan.

Yang paling ia butuhkan sekarang adalah seseorang yang bisa membantu dalam editing video, karena ia sendiri masih amatir dalam hal itu. Ia teringat pada Arvid—teman sekelasnya yang ia tahu cukup jago dalam mengedit video.

Setelah ragu beberapa saat, Milim memberanikan diri mendekati Arvid sebelum pria itu pulang.

"Arvid, kau... sibuk akhir pekan ini?" tanya Milim, sedikit canggung.

Arvid mengangkat alis, sedikit bingung tapi kemudian tersenyum. "Belum ada rencana. Kenapa?"

"Aku... ingin mulai channel YouTube. Gaming. Tapi aku butuh bantuan editing, dan... aku pikir, mungkin kita bisa kerja sama?" Milim mengutarakan maksudnya dengan cepat, takut kalau ia keburu kehilangan keberanian.

Mata Arvid langsung berbinar. "Channel YouTube? Itu keren! Aku suka editing video. Aku mau bantu!"

Milim mengangguk, sedikit lega, tapi ada kecanggungan lain yang harus ia hadapi. "Kalau begitu... maukah kau datang ke rumahku akhir pekan ini? Kita bisa mulai rencanain semua."

Arvid tampak terkejut sesaat, lalu tertawa kecil. "Tentu. Aku janji nggak aneh-aneh."

Mereka tertawa bersama, meski pipi Milim memerah karena malu. Ini pertama kalinya ia mengundang seorang pria ke rumah setelah sekian lama.

---

Di rumah, malam itu:

Setelah makan malam, Milim mengumpulkan keberanian untuk berbicara di ruang keluarga, tempat ayah, ibu, dan kakaknya sedang berkumpul.

"Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan," katanya serius.

Semua mata tertuju padanya.

"Aku... ingin mulai channel YouTube. Aku ingin main game dan membuat konten video. Aku pikir... ini bisa jadi peluang buatku untuk belajar, berkembang, dan mungkin menghasilkan uang sendiri."

Ibunya, Elena, memandang dengan ragu. "YouTube? Bermain game?" Nadanya setengah khawatir, setengah bingung.

Ayahnya, Alex, mengerutkan kening. "Itu dunia yang keras, Milim. Banyak pesaing di luar sana."

Dmitri, kakaknya, tersenyum kecil. "Tapi kalau Milim serius dan disiplin, kenapa tidak? Banyak dokter pun punya channel YouTube sekarang."

Milim mengangguk. "Aku serius. Aku sudah buat rencana, dan aku juga sudah mengajak teman untuk membantu editing videonya. Dia akan datang ke sini akhir pekan ini."

Elena langsung waspada. "Teman pria?"

Milim cepat-cepat menjelaskan, "Hanya teman sekelas! Namanya Arvid, dia baik dan jago edit video. Kita cuma mau kerja sama."

Setelah beberapa pertimbangan, Alex akhirnya berkata, "Baiklah. Tapi kau harus tetap prioritaskan kuliahmu. Dan kami ingin bertemu dengan temanmu itu."

Milim menghela napas lega. "Tentu. Terima kasih!"

Malam itu, Milim kembali ke kamarnya dengan semangat membara. Ia membuka laptop lamanya dan mulai membuat daftar: apa yang harus dibeli, ide konten untuk video pertama, rencana jadwal upload, hingga sketsa desain logo sederhana untuk channel-nya.

Sebuah awal baru telah dimulai.

---

Beberapa hari kemudian, di ruang kerja Milim

Hari pertama rekaman akhirnya tiba.

Milim duduk di depan laptop barunya—yang baru saja ia beli bersama perlengkapan lain: microphone USB sederhana, headset, dan webcam kecil. Arvid duduk di samping, sibuk mengatur setting OBS (Open Broadcaster Software) untuk merekam gameplay dan suaranya.

"Oke... kayaknya semua setting udah beres," kata Arvid sambil mengetik cepat.

Milim mengangguk gugup. Tangannya terasa dingin meski ruangan cukup hangat. Ia mengenakan hoodie kuning cerah, mencoba tampil santai di depan kamera.

"Tenang aja, Milim," kata Arvid sambil tersenyum. "Ini cuma take pertama. Kalau jelek, kita bisa ulang. Santai aja kayak lagi ngobrol."

Milim menarik napas dalam-dalam. "Oke... aku siap."

Arvid menghitung mundur dengan jarinya: tiga, dua, satu...

Lalu ia memberi isyarat mulai.

Milim menatap kamera, tersenyum kecil, dan mulai berbicara:

"Halo, semua! Aku Milim, dan... selamat datang di Millennium Plays! Hari ini kita mulai petualangan baru di Minecraft. Semoga kalian suka dan... yah, jangan terlalu banyak ketawa kalau aku noob."

Suara Milim sedikit bergetar di awal, tapi begitu ia mulai bermain—memukul pohon pertama, mengumpulkan kayu, dan membuat crafting table—suasana mulai mencair. Ia bahkan membuat lelucon kecil ketika dikejar zombie di awal malam.

"Aaaa! Kenapa zombienya banyak banget?! Ini dunia Minecraft atau apocalypse?!" teriak Milim panik, membuat Arvid yang duduk di belakang hampir tertawa keras.

Beberapa kali Milim salah tekan tombol—misalnya saat niatnya membuat pintu, malah membuat setumpuk stick. Namun bukannya marah, ia tertawa geli sendiri.

"Kalau stick ini bisa buat rumah, aku udah jadi arsitek top dunia," canda Milim, membuat suasana video terasa hangat dan santai.

Arvid mengangguk sambil merekam. Dalam hati, ia tahu: meskipun Milim masih canggung, auranya natural—penonton pasti akan suka.

---

Setelah rekaman:

Milim melepas headset-nya dan bersandar di kursi. "Fiuhhh... akhirnya selesai juga."

Arvid tertawa kecil. "Gak buruk buat video pertama. Malah seru."

Mereka menonton hasil rekamannya bersama-sama. Ada momen lucu, momen panik, dan momen aneh—semuanya terasa sangat real. Itulah yang membuatnya menarik.

"Aku bantu edit ya," kata Arvid. "

Boston, Massachusetts – 18 Februari 2016

Hujan ringan membasahi jendela rumah keluarga Nava, menimbulkan suara rintik-rintik yang ritmis di luar. Udara dingin musim dingin masih menggigit, meskipun salju mulai mencair di jalanan. Di dalam rumah, Milim menyalakan heater kecil di sudut ruang kerjanya—sebuah kamar sederhana yang kini bertransformasi jadi "studio" YouTube darurat.

Laptop gaming baru—yang dibelinya dari hasil menjual barang-barang lama dan tabungan—menjadi pusat dari segala rencananya. Kamera kecil menempel di atas monitor, siap merekam wajahnya. Microphone sederhana berdiri di atas meja, dengan kabel yang menjuntai ke bawah.

Arvid duduk di kursi sebelah, masih mengenakan hoodie. Keduanya sudah akrab, tapi suasana tetap terasa seperti momen penting—ini adalah awal dari segalanya.

"Apa judul videonya nanti?" tanya Arvid sambil mengecek kembali OBS.

Milim menggigit bibirnya, berpikir. "Hmm... mungkin 'Petualangan Noob di Dunia Minecraft – Episode 1'."

Arvid tertawa. "Judulnya jujur banget."

Milim tersenyum. Ia ingin kontennya terasa apa adanya, tanpa pura-pura jago.

Jam di dinding menunjukkan pukul 13.45. Mereka ingin memanfaatkan waktu siang yang tenang—ayahnya sedang bekerja di kantor, ibunya sedang belanja ke supermarket Rusia di pinggiran kota, dan kakaknya baru pulang malam.

Setting: Kota Boston, tahun 2016—era di mana YouTube belum sepenuh sekarang, dan Minecraft masih menjadi game favorit di kalangan gamer muda. Channel gaming mulai bermunculan, tapi belum mencapai titik kejenuhan.

"Siap?" tanya Arvid.

Milim menarik napas, menoleh ke jendela yang basah karena hujan. Di luar sana, dunia masih berjalan seperti biasa—mahasiswa berjalan cepat di trotoar, mobil berlalu-lalang.

Tapi di dalam ruangan kecil ini, dunia Milim baru saja akan dimulai.

"Let's go," jawab Milim.

---

More Chapters